WELCOME

Rabu, 19 Januari 2011

Wanita di Balik Temaram Lampu Musholla

Profesinya hanya sebagai pembantu umum di sebuah sekolah menengah swasta di Surabaya barat dengan gaji bulanan yang tak seberapa. Menyapu dan mengepel lantai sekolah, membuatkan makanan dan minuman untuk para guru, adalah beberapa contoh kecil pekerjaannya. Usianya pun tak muda lagi, tapi semangatnya mengalahkan usianya yang tak muda itu.



Bu Yah, panggil saja begitu. Penampilannya yang sederhana, dibalut senyum khas yang merona dari balik wajah tuanya, membuatnya disukai oleh banyak orang. Sekilas, tak ada yang istimewa dari dirinya, hanya seonggok sepeda tua yang selalu setia menemaninya kemanapun ia pergi.



Di sela-sela waktu kerjanya ia pun coba mengadu nasib di bidang yang lain, berdagang.



“Nggak coba telur asinnya Bu, bisa untuk makan satu keluarga loh”, ujarnya menawarkan dagangan kecilnya dengan dialek khas Suroboyo kepada beberapa guru sekolah tempatnya bekerja pada suatu kesempatan. Atau di kesempatan yang lain, “Pisangnya matang Bu, mau coba nggak? Murah kok bu,” ungkapnya lagi menawarkan sedikit barang yang ia bawa.



Ya, itulah bu Yah, dengan sedikit kerja kerasnya, setiap hari selalu saja ada barang yang dibawanya untuk ditawarkan kepada para guru dan staf di sekolah tersebut. Keuntungan yang diambilnya pun tak banyak, sebatas seribu atau dua ribu perak, bergantung jumlah barang yang laku dijualnya.



Semua masih terlihat biasa saja sebagaimana orang lain yang ingin mencari penghasilan tambahan dibalik pekerjaan utamanya. Tapi ia bukanlah orang biasa sebagaimana orang lain kebanyakan, ada satu keistimewaan yang membuatnya luar biasa dan menjadikannya berbeda, bukan sekedar berbeda di mata manusia, tapi juga berbeda di mata Allah, Tuhannya.



Keuntungan yang ia dapatkan dari hasil dagangan kecilnya, walau tak besar, dikumpulkannya untuk membayar iuran listrik bulanan musholla dekat rumahnya. Namun bila dagangannya tak laku, tak jarang semburat kesedihan terbias dari balik senyum dukanya sembari mencoba berharap bahwa Allah akan memberinya rezeki untuknya dari jalan yang tak pernah ia duga-duga.



Ya itulah tekadnya, dengan kesederhanaan yang ia miliki dan dengan keterbatasan yang ia punyai, besar harapannya untuk bisa membuat listrik musholla dekat rumahnya tersebut tetap menyala. Ia bertekad agar uang listrik menjadi amanah dan tanggung jawabnya, walaupun sebenarnya infaq yang masuk di kas musholla sanggup untuk membayar iuran listrik bulanan tersebut.



Sejuk telinganya saat sayu suara ‘adzan dikumandangkan dari balik pengeras suara musholla, teduh tatapannya saat berpasang-pasang mata sibuk menyimak ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan di bawah temaram lampu musholla pada malam hari, dan damai hatinya saat ilmu-ilmu ditebarkan melalui berbagai kajian yang diselenggarakan di situ. Ya segenap rasa sejuk, teduh dan damai yang tak sanggup digantikan oleh apapun dalam hidupnya.



Sejatinya dialah bintang gemintang nan elok di malam hari yang mampu menyejukkan jiwa-jiwa yang kerontang dihempas fana dunia. Dialah taburan warna-warna pelangi nan indah yang meneduhkan hati-hati yang buta karena terbuai nafsu angkara. Dan dia pulalah mutiara jingga yang terpendam di dasar lautan yang mampu menghias batin-batin yang terluka dalam getirnya nadi kehidupan.



Ya, dialah Bu Yah, wanita tua dibalik temaram lampu musholla yang menerangi malam, yang hanya memiliki satu asa dalam hidupnya, bahwa Allah dengan rahmatNya akan menerangi akhir tempatnya berpijak kelak, alam kubur.

0 komentar:

Posting Komentar