WELCOME

Minggu, 27 Juni 2010

tipe daya tahan menghadapi tekanan

Ada macam-macam tipe orang ketika menghadapi tekanan.

Ada tipe kepompong, baru sekali ditekan langsung kempes. Bahkan cukup ditekan dengan jari, sudah kempes.
Biasanya anak manja, anak orang modern yang selalu menghindari masalah sangat rentan menjadi tipe ini.

Ada tipe kapas atau kapuk, tipe ini fleksibel terhadap tekanan.
Ketika ditekan mereka kempes setelah beberapa lama kembali lagi ke bentuk awal.
Orang seperti ini bisa tertekan tapi mampu kembali ke asal.

Ada tipe kaleng, kalau ditekan berbekas. Walaupun tidak rusak atau kehilangan apa-apa. Tipe kaleng bisa kembali ke bentuk asal jika ditekan lagi dari arah berlawanan. Ditempa lagi.
Ini tipe orang yang tertekan, dan tidak bisa memperbaiki diri kecuali disokong orang lain.

Yang cukup bahaya tipe balon. Ditekan fleksible, tapi kalau tekanannya terlalu keras akan hancur dan tidak bisa kembali ke asal.
Ini tipe anak yang mengurung diri ketika tertekan, menahan dendam tapi kalau lepas kontrol bisa frustasi.

Ada tipe besi.
Jika ditekan mereka kuat tidak berbekas, tapi kalau penekannya semakin kuat dan berbahan keras juga lama kelamaan akan tertekan juga.
Hebatnya mental besi ini sekalipun dibakar di ubah ia tetap menjadi besi dan kembali ke asal.

Ada juga tipe diamond.
Makin di pukul dan di tempa makin berkilau. Tapi kalau di tumbuk ya hancur juga.

Ada juga tipe bola pimpong, semakin keras dilempar semakin kuat meresponnya. Sekalipun jatuh meluncur ke bawah tapi ia bangkit melambung ke atas.

Bagaimana dengan Anda?

Kalau saya pilih tipe air.
Air selalu bergerak menuju tujuan (daerah yang lebih rendah)
Kalau ditekan ia fleksible, tidak hancur tapi menyebar. Benda yang menekan justru diselubungi air.
Kalau di tepak, air muncrat menyebar justru memperkuat pengaruhnya.
Bahkan dibakar sekalipun air menguap tetap menjadi air dan akan turun lagi sebagai air dan konsisten dengan sifatnya.

Mungkin itu kenapa 80% lebih tubuh manusia terdiri dari air.

Pohon

Dalam sebuah perjalanan seorang ayah dengan puteranya, sebatang pohon kayu nan tinggi ternyata menjadi hal yang menarik untuk mereka simak. Keduanya pun berhenti di bawah rindangnya pohon tersebut.

“Anakku,” ucap sang ayah tiba-tiba. Anak usia belasan tahun ini pun menatap lekat ayahnya. Dengan sapaan seperti itu, sang anak paham kalau ayahnya akan mengucapkan sesuatu yang serius.

“Adakah pelajaran yang bisa kau sampaikan dari sebuah pohon?” lanjut sang ayah sambil tangan kanannya meraih batang pohon di dekatnya.

“Menurutku, pohon bisa jadi tempat berteduh yang nyaman, penyimpan air yang bersih dari kotoran, dan penyeimbang kesejukan udara,” jawab sang anak sambil matanya menanti sebuah kepastian.

“Bagus,” jawab spontan sang ayah. “Tapi, ada hal lain yang menarik untuk kita simak dari sebuah pohon,” tambah sang ayah sambil tiba-tiba wajahnya mendongak ke ujung dahan yang paling atas.

“Perhatikan ujung pepohonan yang kamu lihat. Semuanya tegak lurus ke arah yang sama. Walaupun ia berada di tanah yang miring, pohon akan memaksa dirinya untuk tetap lurus menatap cahaya,” jelas sang ayah.

“Anakku,” ucap sang ayah sambil tiba-tiba tangan kanannya meraih punggung puteranya. “Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran,” ungkap sang ayah begitu berkesan.
**

Keadaan tanah kehidupan yang kita pijak saat ini, kadang tidak berada pada hamparan luas nan datar. Selalu saja ada keadaan tidak seperti yang kita inginkan. Ada tebing nan curam, ada tanjakan yang melelahkan, ada turunan landai yang melenakan, dan ada lubang-lubang yang muncul di luar dugaan.

Pepohonan, seperti yang diucapkan sang ayah kepada puteranya, selalu memposisikan diri pada kekokohan untuk selalu tegak lurus mengikuti sumber cahaya kebenaran. Walaupun berada di tebing ancaman, tanjakan hambatan, turunan godaan, dan lubang jebakan.

“Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran.”

Cinta

Seorang anak laki enam tahunan tampak berlari menjauh dari rumahnya. Beberapa saat sebelumnya, suara kaca pecah sempat menghentikan kesibukan orang-orang di sekitar rumah. Ada penjual jamu, tukang sayur yang lewat, beberapa orang yang berlalu lalang. Mereka menoleh sebentar, dan berujar pelan, "Ah, anak itu lagi!"

Perilaku nakal anak itu ternyata bukan pemandangan baru buat orang-orang yang kerap berada di sekitar rumah. Hampir tiap hari, bahkan bisa tiga kali sehari, anak itu melakukan kegaduhan. Dan kegaduhan itu selalu terjadi di sekitar rumahnya. Mulai suara gelas yang pecah, dobrakan pintu, dan yang baru saja terjadi, pecahnya kaca jendela.

Seperti biasanya, seorang ibu keluar sesaat setelah anak nakal itu berlari menjauh dari rumah. Sambil memanggil-manggil sang anak, ibu itu tidak memperlihatkan rona marah yang membara. Tidak juga berteriak-teriak mengancam, umumnya seorang yang memendam kesal. Ia hanya memanggil-manggil nama anaknya dan dua kata setelahnya, "Sini sayang!"

Kali ini, sang anak tidak seperti biasanya yang terus berlari menjauh. Ia berhenti. Ia menoleh ke arah suara yang memanggil-manggil namanya. "Ibu," desisnya pelan. Wajah kesalnya tiba-tiba pudar berganti penyesalan. Dan ia pun membiarkan dirinya dihampiri seseorang yang ia sebut ibu.

"Nak!" suara sang ibu sambil tangan kanannya meraih rambut sang anak. Tangan itu pun membelai lembut rambut sang anak.

"Bu, ibu nggak marah?" suara sang anak sambil wajahnya mendongak menatap wajah sang ibu. "Anakku, kenapa ibu harus marah?" jawab sang ibu singkat.

Sang anak pun tiba-tiba mendekap ibunya yang agak membungkuk mensejajarkan diri dengan anaknya. "Bu," suara sang anak tiba-tiba. Sambil terus membelai rambut sang anak, wajah sang ibu makin memperlihatkan senyumnya yang sejuk di mata anaknya. "Ada apa, sayang?" ucap sang ibu lembut.

"Kenapa ibu bisa seperti ini? Padahal aku sudah begitu nakal?" tanya si anak yang mulai mengendurkan dekapannya.

"Anakku," ujar si ibu. "Inilah cinta!" lanjut suara sang ibu sembari tetap menampakkan senyum lembut kepada anaknya.

***

Begitu banyak tingkah nakal anak-anak manusia di bumi ini. Begitu banyak kerusakan yang mereka tampakkan sehingga kehidupan menjadi gaduh. Orang-orang yang kebetulan berada di sekitar kegaduhan pun ikut merasakan gangguan-gangguan itu.

Tapi, bersamaan dengan tingkah nakal itu, selalu muncul suara-suara lembut yang memanggil-manggil anak manusia untuk kembali. Seolah, suara panggilan itu mengatakan, "Kembali, sayang!"

Padahal, anak-anak manusia yang nakal itu sedikit pun tidak sebanding dengan kegagahan gunung yang menjulang, kedahsyatan halilintar yang siap menyambar, kekokohan susunan bebatuan bumi yang begitu mudah menghimpit makhluk yang hidup di atasnya. Belum lagi dengan kedahsyatan terjangan ombak samudra yang bisa berubah drastis menjadi begitu menyeramkan.

Tapi kenapa, justru suara lembut yang selalu memanggil-manggil dari balik menjauhnya anak-anak manusia yang nakal.

Cinta. Itulah mungkin sebuah jawaban yang pas. Seperti yang diucapkan sang ibu kepada anaknya, "Cinta anakku!" Atau dalam bahasa yang lain, seperti yang diucapkan oleh Yang Maha Sayang, "Warahmati wasi'at kulla sya'i, cinta-Ku meliputi segala sesuatu!"

Sayangnya, belum semua anak manusia mau menyimak sapaan kembali dan mencoba menengadah untuk membalas cinta dari Yang Maha Sayang.

touching poem, "me n my father"....

When I was 4 Yrs Old : "My father is THE BEST
When I was 6 Yrs Old: "My father seems to know everyone
When I was 10 Yrs Old:" My father is excellent but he is short tempered
When I was 12 Yrs Old: "My father was nice when I was little
When I was 14 Yrs Old: "My father started being too sensitive
When I was 16 Yrs Old : "My father can't keep up with modern times

When I was 18 Yrs Old : "My father is getting less tolerant as the days pass by
When I was 20 Yrs Old :" It is too hard to forgive my father, how could my Mum stand him all these years
When I was 25 Yrs Old :" My father seems to be objecting to everything I do
When I was 30 Yrs Old: "It's very difficult to be in agreement with my father, I wonder if my Grandfather was troubled by my father when he was a youth
When I was 40 Yrs Old: "My father brought me up with a lot of discipline, I must do the same
When I was 45 Yrs Old: "I am puzzled, how did my father manage to raise all of us
When I was 50 Yrs Old : "It's rather difficult to control my kids, how much did my father suffer for the sake of upbringing and protecting us
When I was 55 Yrs Old:" My father was far looking and had wide plans for us, he was gentle and outstanding.
When I became 60 Yrs Old: "My father is THE BEST
Note that it took 56 Yrs to complete the cycle and return to the starting point " "My father is THE BEST "

Let's be good to our parents before it's too late and pray to Allaah that our own children will treat us even better than the way we treated our parents

Allah(SWT) says: "Your lord has decreed that you worship non but him and show kindness to parents. If one or both reach old age with you then do not say uff! To them nor repulse them, but speak graciously to them" {Surah Al-Isra: Ayah 23}

O our lord, forgive me and my parents and believers on the day when the reckoning shall come to pass. {Surah Ibrahim: Ayah 41}

O my Lord, have mercy on them (parents) just as they nourished me when I was small.{Surah Bani Irail: Ayah 24}

Selasa, 08 Juni 2010

Cermin

"Ternyata, aku cakep!" ujarnya setelah memastikan kalau bayangan itu memang benar-benar diri kancil sendiri. Dan, kancil pun melompat-lompat kegirangan. Tiap kumpulan hewan yang ia lalui seolah tersenyum memandangi dirinya. Bisikan yang selalu ia yakini pun mengatakan, "Kancil cakep, Ya! Kancil cakep!"

Begitu seterusnya hingga hewan periang ini menemukan genangan air yang lain. Warna air itu agak kusam. Beberapa dahan pohon yang mulai membusuk dalam air seperti memberi warna hijau pekat. Dan bayang-bayang yang dipantulkan genangan itu pun akan menjadi kusam.

"Hei, kenapa wajahku seperti ini?" teriak kancil sesaat setelah memandangi bayangan wajahnya dari permukaan genangan air itu. Ia jadi kian penasaran. Terus ia pandangi genangan itu seolah mencari detil-detil kesalahan. Tapi, bayangan itu tak juga berubah. Ia terlihat kusam, kumuh. Bulu-bulu coklatnya yang bersih tak lagi tampak seperti apa adanya. "Ternyata aku salah! Aku tidak cakep!" keluh kancil sambil beranjak meninggalkan genangan air.

Berjalan agak lunglai, kancil membayangkan sesuatu yang tak nyaman. Sapaan manis hewan-hewan yang ia lalui, terasa agak lain. Tiap sapaan seperti sebuah hinaan: "Kancil jelek! Sok cakep!" Itulah kenapa kancil selalu menunduk ketika berpapasan dengan siapa pun yang ia jumpai. Mulai dari kuda, kerbau, rusa, zebra, dan kambing. Ia merasa begitu rendah dibanding yang lain. Keriangannya pun berganti kesedihan. Pelan tapi pasti, bayang-bayang itu pun menjadi sebuah pengakuan. "Aku memang sok cakep!"

***

Hidup dalam sebuah kebersamaan adalah sama dengan memandangi diri dalam seribu satu cermin sosial. Masing-masing cermin punya sudut pandang sendiri. Bayangan yang ditampilkannya pun sangat bergantung pada mutu cermin. Tentu akan beda antara bayangan cermin jernih dengan yang kusam. Terlebih jika cermin itu sudah retak.

Memahami keanekaragaman cermin ini akan membuat seseorang seperti berjalan pada bentangan tambang di sebuah ketinggian. Ia mesti merawat keseimbangan: antara percaya diri yang berlebihan dengan rendah diri yang kebablasan. Percaya diri yang berlebihan, membuat langkah menjadi tidak hati-hati. Dan rendah diri yang kebablasan, membuat langkah tak pernah memulai.

Andai keseimbangan percaya diri ini yang dipahami kancil, tentu ia tak terlalu bangga dengan bayangan yang terasa begitu membuai. Karena di cermin yang lain, bayangan dirinya menjadi buruk. Sangat buruk. Andai keseimbangan ini yang dipegang kancil, insya Allah, ia tak akan jatuh.

Lulusan PhD Stanford Itu, Kini Jadi Sopir

Ia telah menghabiskan 16 tahun sebagai peneliti di Institute of Molecular and Cell Biology (IMCB). Tapi akhirnya, nasib menjadikannya seorang supir

Hidayatullah.com—Cai Mingjie tak pernah berpikir sebelumnya jika kehidupannya berbalik 180%. Maklum, pria berkacamata ini sebelumnya adalah seorang ilmuwan dengan reputasi bagus. Pendidikan terakhir PhD bidang biokimia diselesaikan dari universitas ternama, Stanford University.

Namun pria yang pernah menjadi kepala peneliti bidang genetika sel di IMCB ini pergi meninggalkan institusi bergengsi itu dan memilih menjadi sopir taksi.

"Saya dipaksa keluar dari pekerjaan riset di saat karir saya berada di puncak, dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan lain dengan alasan yang hanya bisa saya katakan sebagai "keunikan dari Singapura," ujarnya dalam sebuah situs blog miliknya.

“Akibatnya, saya mengemudi taksi untuk membuat hidup dan menulis kisah kehidupan nyata ini hanya untuk membuat pekerjaan yang membosankan sedikit lebih menarik. Saya berharap bahwa kisah-kisah yang menarik untuk Anda juga, " ujar Dr. Cai.

Berita mengenai Dr. Cai ini sangat mengejutkan masyarakat Singapura, sebuah negara yang tingkat kemajuan pendidikan dianggap tinggi dan tidak diragukan lagi.

Seorang pekerja kerah putih yang sangat terkejut mengatakan, sebelumnya ia sangat yakin bahwa gelar setingkat doktoral dan pengalaman segudang merupakan jaminan untuk memiliki pekerjaan yang mapan dan kesuksesan abadi.

"Jika ia akhirnya harus menjadi sopir taksi, maka kesempatan apa yang dimiliki orang-orang biasa seperti kami ini?" tanyanya.
Saya pernah bertemu dengan sejumlah sopir taksi yang memiliki kualifikasi tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini, termasuk mereka yang dulunya adalah manajer dan insinyur.

Seorang sopir yang ceria, suatu hari mengejutkan saya karena memberikan penjelasan lengkap mengenai saham apa yang sebaiknya dibeli dan mana yang harus dihindari. Ternyata ia dulunya seorang pialang saham.

"Pada masa seperti sekarang ini, mungkin hanya bisnis taksi yang masih aktif menerima pegawai di Singapura, kata Dr. Cai.
Bagi saya, perubahan hidup Dr. Cai itu membawa Singapura ke dalam babak baru.

"Saya mungkin satu-satunya sopir taksi dengan gelar PhD dari Stanford dan memiliki pengalaman yang diakui dibidang sains..." tulis Dr. Cai dalam blog nya.

Gelar Doktoral

Kisahnya Dr. Cai ini segera menyebar di dunia maya. Kebanyakan orang Singapura menyatakan penghargaan mereka atas kemampuannya beradaptasi begitu cepat dengan kehidupan barunya. Dua orang pemuda Singapura menanyakan nomor taksinya, berkata bahwa mereka akan sangat senang sekali jika bisa berkeliling dengan taksinya dan berbincang-bincang.

"Banyak (pelajaran) yang bisa ia berikan kepada saya," kata seseorang.

Lainnya bertanya, mengapa ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan mengajar, mengingat pengalaman ilmiahnya yang begitu mengagumkan.

Keluarnya ia dari pekerjaan lama sebenarnya lebih disebabkan karena alasan pribadi (ia dituduh membuat kekacauan oleh para pemimpin penelitian), dan bukan karena lesunya proyek bidang bioteknologi di Singapura, yang masih bisa bertahan di masa krisis ini.

Kasusnya iitu menjadikan kelemahan umum di bidang R and D (research and development) Singapura mendapat sorotan.

"Kondisi ekonomi yang buruk artinya tidak banyak perusahaan yang mampu membayar ilmuwan profesional," kata seorang peselancar dunia maya. "Gelar akademik tidak banyak membantu--sejarah membuktikan banyak orang yang bergelar PhD berburu mencari pekerjaan."

Sementara citra sopir taksi menjadi terdongkrak tinggi, tidak demikian keadaannya dengan proyek biomedika Singapura, khususnya upaya mereka untuk menumbuhkan bibit talenta peneliti baru di dalam negeri.

"Semakin banyak orang Singapura yang menjauh dari karir di bidang sains," kata seorang blogger.

Seseorang menulis, "Menurut saya, gelar PhD tidak berguna, terutama di Singapura. Itu hanya selembar sertifikat, tidak lebih."
Lainnya menambahkan, "Di Amerika Serikat keadaannya lebih parah. Banyak yang datang ke sini untuk mencari pekerjaan."

"Saya tidak ingin anak saya bertahun-tahun sekolah akhirnya hanya menjadi sopir taksi," kata seornag ibu rumah tangga yang memiliki putri remaja.

Kasus yang menimpa warga negara Singapura, yang menjalani penelitian PhD-nya di Universitas Stanford dengan subyek penelitian seputar protein pengembang itu, sebenarnya tidak unik.

Ilmuwan peneliti Amerika, Douglas Prasher, yang berhasil mengisolasi gen yang bisa menghasilkan protein bersinar hijau--dan baru saja gagal meraih penghargaan Nobel 2008, menghadapi situasi yang sama.

Prasher pindah dari sebuah lembaga penelitian ke lembaga lain ketika dana penelitiannya habis. Pada akhirnya ia berhenti menggeluti sains, dan beralih menjadi sopir antar-jemput di Alabama.

"Meskipun demikian, ia tetap rendah hati dan bahagia dan kelihatan senang dengan pekerjaan mengendarai minivan-nya," kata seorang peselancar internet.

Dengan berubahnya pasar dunia kerja yang tersedia, dan semakin banyaknya pemilik usaha yang menginginkan beberapa pekerjaan bisa dilakukan oleh satu orang dengan kontrak kerja yang singkat, maka semakin banyak orang Singapura yang mengejar gelar yang berbeda. Misalnya akuntansi dengan hukum atau komputer dengan bisnis.

Sebagian orang mulai menghindari gelar pascasarjana atau bidang-bidang ilmu khusus. Mereka lebih memilih bidang keilmuan yang lebih umum atau lintas sektor.

"Pengalaman adalah raja," itulah semboyannya sekarang. Dan orang-orang berbondong-bondong mencari tempat magang tanpa bayaran.
"Di masa datang, yang dibutuhkan adalah para lulusan dengan keterampilan yang beragam dan karir yang fleksibel, orang-orang yang bisa menyesuaikan diri dengan berbagai pekerjaan yang berbeda," kata seorang pengusaha.
Selama beberapa tahun terakhir, di mana globalisasi semakin dalam, ada ketidaksinkronan antara apa yang dipelajari oleh orang Singapura di universitas dengan karir yang dijalaninya.

Singapura mengikuti tren di dunia maju, di mana bisnis-bisnis lama bisa hilang sekejap dalam satu malam, kemudian muncul bisnis yang baru, yang menjadi masalah bagi mereka yang tidak bisa menyesuaikan diri.

Saya mengenal seorang pemuda, insinyur sipil dari universitas terkemuka di Amerika, yang menelantarkan dunia konstruksi untuk menggeluti dunia mengajar.

Seorang insinyur lainnya yang saya temui, mengurus kedai kopi ayahnya yang sangat menguntungkan. Lainnya, pengacara yang kemudian menjadi musisi atau jurnalis, dan lain sebagainya.

Kasus di mana orang-orang melakukan pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan mereka, semakin hari semakin banyak. Sehingga para pewawancara yang menanyai calon pegawai tidak lagi bertanya, "Mengapa seorang ilmuwan berpengalaman seperti Anda mau bekerja sebagai pegawai tingkat rendah?"

Di masa lampau orangtua pusing memikirkan bidang studi apa yang harus ditempuh oleh anaknya, akuntansi atau hukum atau teknik, bidang-bidang yang menjanjikan kesuksesan. Dan mereka akan menentukan satu bidang, dan terus mengejar dan menggelutinya hingga menjadi profesi.
Seorang dokter akan bekerja menjadi dokter, seorang ahli biologi akan bekerja di laboratorium, dan pengacara akan sibuk berdebat di pengadilan.

Dr Cai adalah pria kelahiran China yang kemudian menjadi warga negara Singapura, setelah memperoleh PhD dalam bidang biologi molekuler dari Universitas Stanford tahun 1990. Dia bergabung IMCB dua tahun kemudian dan bekerja sebagai kepala peneliti di bidang genetika sel sampai kepergiannya.

Ia dihentikan dari di Institut Molekuler dan Biologi Sel (IMCB) di ASTAR Singapore, tempat di mana dia sudah bekerja selama 16 tahundan tak dapat menjamin pekerjaan lain sampai penghentiannya bulan Mei 2008. Menjelang November 2008, dia memutuskan menjadi seorang sopir taksi.
Kini, pria dengan seambrek kurikulum vitaes dan pengalaman universitas, lembaga pemerintah dan perusahaan menjadi sopir kendaraan Toyota Crown. “Pada saat seperti ini, bisnis taksi mungkin satu-satunya usaha di Singapura yang masih aktif merekrut orang, " katanya.

Senin, 07 Juni 2010

Kiat Agar Dapat Melakukan Qiyamul Lail

Kiat Agar Dapat Melakukan Qiyamul Lail

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ada beberapa kiat yang dapat membantu seseorang untuk bangun di malam hari guna melakukan shalat Tahajjud. Di antaranya adalah.

[1]. Mengetahui keutamaan shalat Tahajjud dan kedudukan orang yang melakukannya di sisi Allah Ta’ala serta segala apa yang disediakan baginya berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat, bagi mereka disediakan Surga.

Allah Ta’ala bersaksi terhadap mereka dengan kesempurnaan iman, dan tidak sama antara mereka dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Shalat Tahajjud sebagai sebab masuk ke dalam Surga, ditinggikannya derajat di dalamnya, dan shalat Tahajjud merupakan sifat hamba-hamba Allah yang shalih serta kemuliaan bagi seorang Mukmin.

[2]. Mengetahui perangkap syaitan dan usahanya agar manusia tidak melakukan shalat malam.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai seorang laki-laki yang tidur hingga datang waktu fajar,

"Itulah seseorang yang syaitan telah kencing di telinganya -atau beliau bersabda- di kedua telinganya.” {Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1144, 3270) dan Muslim (no. 774), dari Shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.}

‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda

"Wahai ‘Abdullah, jangan kamu menjadi seperti si fulan, dahulu ia biasa melakukan shalat malam, kemudian meninggalkannya” {Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1152) dan Muslim (no. 1159 (187)}

[3]. Memendekkan angan-angan dan banyak mengingat mati.

Hal ini dapat memberi semangat untuk beramal dan dapat menghilangkan rasa malas, berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Jadilah engkau di dunia ini seperti orang yang asing atau orang yang sedang menyeberangi jalan.”

Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma mengatakan, “Apabila berada di pagi hari, janganlah engkau menunggu waktu sore. Dan apabila berada di sore hari, janganlah engkau menunggu waktu pagi. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, dan pergunakan waktu hidupmu sebelum datang kematianmu.” {Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6416), Ahmad (II/24, 132), at-Tirmidzi (no. 2333), Ibnu Majah (no. 4114), dan al-Baihaqi (III/369).}

[4]. Tidur di awal malam agar memperoleh kekuatan dan semangat yang dapat membantu untuk melakukan shalat Tahajjud dan shalat Shubuh.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Barzah radhiyallaahu ‘anhu.

“Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya’ dan berbincang-bincang setelahnya.” {Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 568) dan Muslim (no. 461), lafazh ini milik al-Bukhari.}

[5]. Mempergunakan kesehatan dan waktu luang (dengan melakukan amal shalih) agar pahala kebaikannya tetap ditulis pada saat ia sakit atau sedang safar.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

"Apabila seorang hamba sakit atau safar, ditulislah baginya pahala perbuatan yang biasa ia lakukan ketika mukim dan sehat.” {Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2996), dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu}

Maka orang yang berakal hendaklah tidak terluput dari keutamaan yang agung ini. Hendaklah ia melakukan shalat Tahajjud ketika sedang sehat dan memiliki waktu luang serta melakukan berbagai amal shalih sehingga ditulislah pahala baginya apabila ia lemah atau sibuk dari melakukan amal kebaikan yang biasa ia lakukan.

[6]. Bersungguh-sungguh mengamalkan adab-adab sebelum tidur.

Yaitu, dengan tidur dalam keadaan suci, apabila masih mempunyai hadats hendaklah ia berwudhu’ dan shalat sunnah dua raka’at, membaca dzikir sebelum tidur, mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu ditiupkan serta dibacakan padanya surat al-Ikhlaash, al-Falaaq, dan an-Naas. Kemudian usaplah dengan kedua tangannya itu seluruh anggota badan yang dapat dijangkaunya (lakukan hal ini tiga kali). Jangan lupa juga membaca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah, dan membaca do’a sebelum tidur. Dia juga harus melakukan berbagai sebab yang dapat membangunkannya untuk shalat, seperti meletakkan jam weker di dekat kepalanya atau dengan berpesan kepada keluarganya atau temannya atau tetangganya untuk membangunkannya.

[7]. Memperhatikan sejumlah sebab yang dapat membantu untuk melakukan shalat Tahajjud.

Yaitu, dengan tidak terlalu banyak makan, tidak membuat badannya lelah dengan melakukan pekerjaan yang tidak bermanfaat, bahkan seharusnya ia mengatur pekerjaannya yang bermanfaat, tidak meninggalkan tidur siang karena itu dapat membantu bangun di malam hari, dan menjauhi dosa dan maksiyat. Disebutkan dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullaah beliau berkata, “Selama lima bulan aku terhalang untuk melakukan shalat malam karena dosa yang aku lakukan.” {Lihat kitab Qiyaamul Lail, Fadhluhu wa Aadaabuhu wal Asbaabul Mui’iinatu ‘alaihi fii Dhau-il Kitaabi was Sunnah (hal. 50-58).}




[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]

Beda Para Pengejar Mimpi

Erich Formm dalam bukunya Escape from Freedom menjelaskan adanya fenomena anomali dalam diri manusia. Banyak orang menginginkan kebebasan dan kemerdekaan namun akhirnya mereka rela meninggalkan kemerdekaan dan kebebasannya. Apa sebab? Dia menjelaskan bahwa kemerdekaan dan kebebasan seringkali melahirkan keterasingan dan kesendirian. Hal yang paling menakutkan bagi manusia adalah keterasingan dan kesendirian, sehingga banyak manusia lebih memilih membunuh kebebasannya demi kebersamaan dan kesamaan. Banyak manusia yang berkompromi untuk tidak menunjukkan perbedaan demi terhindar dari segala bentuk pengucilan.

Kenyataannya memang berbeda menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian besar orang, terlebih lagi dalam kultur Indonesia yang cenderung mementingkan kebersamaan dan kesamaan. Sejak SD kita sudah diajarkan penyeragaman, bukan hanya dalam hal berpakaian, tapi juga dalam berfikir, bersikap dan bertindak. Mereka yang berbeda dianggap merusak tatanan dan layak untuk dikucilkan.

Ketika sekolah dulu, guru olahraga saya marah karena saya berenang menggunakan celana renang yang “tidak standar” dan berbeda dengan teman-teman. Guru saya bilang “itu tidak sesuai dengan etiket, di kolam renang juga ada aturan, celana kamu bisa membahayakan”. Saya bingung dimana salahnya. Lalu saya katakan dengan polos “kenyataannya saya berenang lebih cepat dari teman-teman pak, jangan-jangan celana renang yang benar justru celana yang saya pakai”. Guru saya seperti tidak ambil pusing lagi dengan jawaban saya, dan dengan kuasa yang dimilikinya diberilah saya nilai 6 di raport.

Berbeda memang sering melahirkan keterasingan. Di dalam organisasi, mereka yang memiliki ide berbeda atau berani bersuara berbeda, seringkali dianggap aneh dan tidak layak atas suatu posisi, malah tidak jarang diboikot dan disingkirkan. Kebanyakan orang menginginkan keseragaman dan kesamaan. Terlebih lagi mereka yang duduk sebagai atasan atau merasa punya kuasa atas berbagai urusan, sulit sekali menerima perbedaan. Orang yang berbeda dianggap tidak faham dan karenanya lebih baik untuk diasingkan.

Seorang teman yang tengah memulai meraih impiannya menjadi pengusaha mengatakan “susah belajar jadi pengusaha”. Saya tanya mengapa? Masalah modal? Dia bilang setiap orang tua ingin anaknya bekerja setelah lulus kuliah, kalau datang kekampus yang pertama ditanya dosen dan adik-adik kelas juga “kerja dimana? diperusahaan apa?”. Teman saya mengatakan “mereka tidak menganggap berbisnis sebagai bekerja, sampai bisnis kita benar-benar terbukti sukses”.

Para pengejar mimpi memang tidak jarang hidup di luar mainstream, bertentangan dengan kesamaan, sering tampil secara berbeda dari kebiasaan yang selama ini tersedia. Saat Bill Gate meninggalkan Harvard dan memulai perjalanan meraih mimpinya dengan Microsoft orang tuanya melarang dan memintanya kembali kuliah. Keluar dari universitas terkemuka, disaat banyak orang justru meninginkannya, jelas merupakan hal yang kontroversial. Bill Gate mengatakan, “tidak mudah melakukan apa yang tidak dilakukan orang, penuh tantangan dan intimidasi, terkadang melemahkan, membutuhkan banyak energy dan kecerdasan, tapi saya berprinsip setiap ide yang saya yakini harus saya jalankan”.

Sebelum menjadi Nabi, Muhammad terkenal sebagai pribadi yang jujur dan terpecaya. Semua orang respek dan hormat kepadanya. Satu hari, setelah datang perintah untuk berda’wah terang-terangan, Rosulullah mengundang penduduk mekkah dan berbicara di atas bukit shofa untuk menyampaikan visinya. Rosul bertanya “Bagaimana pendapatmu jika aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan kuda musuh yang datang akan menyerangmu, apakah kamu mempercayaiku?” Jawab mereka, “Ya, kami belum pernah melihat kamu berdusta.” Kemudian Nabi berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih.” Lalu apa yang terjadi? Abu Lahab memprotes, “Sungguh celaka kamu sepanjang hari, hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami?”.

Setelah Rosul menyampaikan visi tauhidnya secara terang-terangan, mulailah penentangan terang-terangan itu datang. Rosul dikucilkan, dijauhi dari komunitasnya, bahkan terancam jiwanya. Mereka menolak visi tauhid Rosul dengan alasan mereka tidak dapat meninggalkan agama yang telah mereka warisi dari nenek moyang mereka, dan sudah menjadi tradisi kehidupan mereka. Mereka tidak siap menerima Muhammad, orang yang paling mereka percaya, datang dengan membawa ide yang berbeda. Perbedaan dipandang sebagai ancaman, oleh karenanya harus ditentang, dilawan bahkan dimusnahkan.

Tentu Rosul tidak berhenti dengan pengucilan dan ancaman ini. Rosul terus menggemakan visinya, tidak takut dianggap berbeda, dan terus berjuang merealisasikannya. Rosulullah ditinggalkan oleh komunitasnya, bahkan tidak ada lagi tempat yang aman baginya di Mekkah yang merupakan tanah kelahirannya. Tapi Rosul tidak pernah berhenti hanya karena ancaman-ancaman ini.

Mereka yang ingin meraih mimpi tidak boleh kecil hati dengan segala bentuk alienasi, tidak boleh takut terhadap ancaman dan pemboikotan hanya karena menampilkan hal yang melawan keseragaman. Terlebih lagi jika keseragaman yang wujud jelas-jelas bertentangan degan prinsip-prinsip kebenaran. Bukankah Alqur’an datang untuk menjadi furqon yang membedakan antara jalan kebenaran dan jalan kesesatan? Hukum kehidupan juga telah membuktikan bahwa menjadi berbeda sesungguhnya sudah takdir manusia. Setiap individu di dunia berbeda. Tak ada seorangpun yang 100 % sama dengan lainnya. Sidik jari kita cukup membuktikan fakta, tak ada dua sidik jari yang sama di dunia. Setiap orang dari kita berbeda – UNIK. Dan keunikan kita membedakan kita satu dengan lainnya. Lalu mengapa kita harus takut berbeda?
(Mukhamad Najib, Mahasiswa S3 Universitas Tokyo)

7 Keajaiban Dunia

sekelompok siswa kelas geografi sedang mempelajari "Tujuh keajaiban Dunia". Pada awal pelajaran,mereka diminta untuk membuat daftar yang mereka pikir merupakan "Tujuh Keajaiban Dunia". Walaupun ada beberapa ketidaksesuaian,sebagian besar daftar berisi
1. Piramida
2. Taj Mahal
3. Tembok Besar Cina
4. Menara Pisa
5. Menara Eiffel
6. Kuil Parthenon
7. Candi Borobudur

ketika mengumpulkan daftar jawaban, sang guru memperhatikan seorang pelajar yang belum mengumpulkan kertas jawabannya. Sang guru lalu bertanya kepadanya apakah dia mempunyai kesulitan....
murid itu lalu menjawab....
"iya, sedikit. Saya tidak bisa memilih karena sangat banyaknya"
sang guru berkata, "baik, katakan pada kami apa yang kaumiliki"

murid itu ragu sejenak,kemudian membaca, "saya pikir Tujuh Keajaiban Dunia" adalah
1. Bisa Melihat
2. Bisa Mendengar
3. Bisa Menyentuh
4. Bisa Menyayangi
5. Bisa Merasakan
6. Bisa Tertawa
7. dan Bisa Mencintai

Ruang kelas pun seketika menjadi sunyi....

renungan.....
Alangkah mudahnya bagi kita untuk dapat melihat hasil eksploitasi manusia dan kita menyebutnya "Keajaiban". Sementara untuk semua yang telah Tuhan karuniakan kepada kita, kita menyebutnya sebagai hal "Biasa"....

semoga anda hari ini diingatkan tentang segala hal yang betul - betul ajaib dalam kehidupan anda

Puisi Persahabatan

PERSAHABATAN


Dan jika berkata, berkatalah kepada aku tentang kebenaran persahabatan?..Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang mesti terpenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau panen dengan penuh rasa terima kasih.

Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.
Karena kau menghampirinya saat hati lapa dan mencarinya saat jiwa butuh kedamaian.Bila dia bicara, mengungkapkan pikirannya, kau tiada takut membisikkan kata “tidak” di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata “ya”.

Dan bilamana ia diam, hatimu tiada ‘kan henti mencoba merangkum bahasa hatinya; karena tanpa ungkapan kata, dalam rangkuman persahabatan, segala pikiran, hasrat, dan keinginan terlahirkan bersama dengan sukacita yang utuh, pun tiada terkirakan.

Di kala berpisah dengan sahabat, janganlah berduka cita; Karena yang paling kaukasihi dalam dirinya, mungkin lebih cemerlang dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung daripada tanah ngarai dataran.

Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya ruh kejiwaan. Karena kasih yang masih menyisakan pamrih, di luar jangkauan misterinya, bukanlah kasih, tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.

Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.
Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenal pula musim pasangmu.
Gerangan apa sahabat itu hingga kau senantiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?
Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!
Karena dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.
Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria berbagi kebahagiaan.
Karena dalam titik-titik kecil embun pagi, hati manusia menemukan fajar jati dan gairah segar kehidupan
(kahlil gibran)

Pulang

Dua orang pegawai tampak masih sibuk pada pekerjaannya, meski malam sudah mengisyaratkan mereka untuk istirahat. Di gedung megah yang sehari-hari menjadi kantor tempat mereka berkerja itu sudah tidak ada lagi pegawai. Kecuali, petugas keamanan malam.

Salah seorang yang bertubuh kurus pun berujar, ”Ah, hari yang melelahkan. Saatnya pulang ke rumah.”

Seorang yang agak gemuk hanya menoleh sebentar, kemudian kembali dengan kesibukannya. Ia hanya membalas ucapan temannya yang mulai berkemas dengan senyum. “Aku lembur lagi!” ucapnya singkat.

“Apa kamu tidak kangen dengan isteri dan anak-anakmu?” tanya si kurus mulai beranjak menuju pintu.

”Entahlah, aku merasa lebih nyaman berada di sini,” jawab si gemuk sambil terus sibuk dengan pekerjaannya. ”Ruangan ini sudah seperti rumahku,” tambahnya begitu meyakinkan.

Si kurus menatap temannya begitu lekat. Sebelum langkah kakinya meninggalkan sang teman, ia tergelitik untuk mengucapkan sesuatu, ”Menurutku, kamu bukan tidak ingin pulang. Tapi, kamu belum paham apa arti pulang.”

**
Angan-angan sederhana yang kerap muncul di kepala siapa pun ketika ia begitu lama berada di luar rumah adalah pulang. Seorang pejabatkah, pegawaikah, pengusahakah, pelajar dan mahasiswakah; titik akhir dari akumulasi kelelahannya berinteraksi dengan dinamika hidup selalu tertuju pada pulang.

Kata pulang menjadi perwakilan dari seribu satu rasa yang tertuju pada kerinduan-kerinduan dengan sesuatu yang sudah menjadi ikatan kuat dalam diri seseorang. Sesuatu yang tidak mungkin untuk dipisahkan, karena dari situlah ia berasal dan di situ pula ia menemukan jati dirinya.

Dalam skala hidup yang lebih luas, pulang adalah kembalinya manusia pada asalnya yang tidak mungkin dielakkan. Apa dan bagaimana pun keadaannya, suka atau tidak pun rasa ingin pulangnya, jauh atau dekat pun perginya, dan ada atau tidaknya kerinduan terhadap arah pulang yang satu ini; setiap kita pasti akan ’pulang’.

Walaupun, tidak sedikit orang yang merasa lebih nyaman berada di dunia ini daripada berhasrat menuju ’pulang’. Persis seperti yang diungkapkan si kurus kepada temannya, ”Kita bukan tidak ingin ’pulang’. Tapi, kita mungkin belum memahami arti ’pulang’.”
(muhammadnuh@eramuslim.com
)

Beban

Dua orang sahabat berkendaraan sepeda motor yang berbeda pergi menuju suatu tempat yang sama. Walau berangkat secara bersamaan, tapi keduanya tidak berjalan beriringan. Pengendara pertama memacu begitu cepat motornya, sementara yang kedua melaju dengan kecepatan normal.

Sesekali, pengendara kedua melambatkan kendaraannya hanya untuk memuaskan ketakjubannya dengan keindahan taman-taman di tepian jalan. Saat itu, ia seolah sedang menumpang sebuah mobil. Hampir tak satu pun pemandangan menarik yang luput dari pengamatannya.

“Aduh lelahnya!” ucap si pengendara pertama ketika pengendara kedua tiba di tempat tujuan.

“Kamu lelah karena menungguku?” tanya si pengendara pertama menyadari kalau ia datang sangat telat.

“Bukan. Aku lelah karena perjalanan yang begitu jauh,” sahut si pengendara pertama memastikan jawabannya.

“Sahabatku,” ucap si pengendara pertama. “Kamu lelah bukan karena perjalanan yang jauh. Kamu lelah karena menganggap perjalanan ini sebagai beban,” tambah si pengendara pertama lebih dalam. **

Melakoni hidup kadang seperti sedang berkendaraan menuju suatu tempat yang teramat jauh. Untuk sebuah logika normal, perjalanan itu pun harus secepat mungkin ditempuh untuk kemudian tiba di tempat tujuan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.

Padahal, dinamika hidup ini tidak linier seperti garis lurus yang mempunyai simpul-simpul berjajar memenuhi titik-titik persinggahan. Karena jika seperti itu, kita akan abai dengan sisi kehidupan lain yang terpampang di tepian jalan.

Ada yang mudah terlihat, tapi tidak sedikit yang butuh pengamatan penuh ketelitian. Ada yang bisa dilihat dengan mata kepala kita, tapi juga tidak sedikit yang hanya bisa dicermati dengan ketajaman mata hati kita.

Lalui jalan hidup ini. Cermati dan maknai dinamika sekelilingnya sebagai daya dorong menuju tempat tujuan. Dan agar perjalanan ini tidak sekadar beban.(eramuslim.com)

Minggu, 06 Juni 2010

Topeng

Seorang penjual topeng tampak berdiri di tepian jalan. Ia cermati kendaraan dan orang yang berlalu lalang. Setiap kali ada tanda-tanda calon pembeli yang menghampiri, tukang topeng pun memperlihatkan aneka topeng yang dijajakan. Tak sungkan, beberapa topeng ia kenakan secara bergantian.

“Silakan, Pak, Bu. Topeng hebat. Nyaman di muka. Nggak bikin gerah! Ayo siapa mau beli?” teriaknya sambil memperlihatkan aneka topeng di kedua tangannya.

Ada berbagai topeng yang ia jajakan. Ada topeng badut, topeng gorila atau kingkong, topeng pahlawan super, topeng robot, ada juga topeng wajah sedih dan menangis.

Seorang ibu bersama dua puteranya tampak menghampiri si tukang topeng. Terlihat dua anak itu mencoba beberapa topeng. Anak-anak itu pun tertawa, dan mereka pun mencoba topeng yang lain lagi.

Sementara itu, sang ibu terlihat serius berbicara dengan si pedagang topeng. “Nggak kurang lagi, Mas?” ucap si ibu ke penjual topeng. “Waduh, ini sudah paling murah, Bu. Topeng ini bukan topeng biasa. Ini nyaman, Bu. Pokoknya, seperti tidak memakai topeng!” ujar si penjual topeng meyakinkan. ** Buat sebagian orang, hidup tak ubahnya seperti arena berfose mengenakan topeng. Ada topeng dengan sosok bijak, ada topeng berwajah cantik nan menawan, ada topeng seram seperti gorila, dan ada topeng lucu menyerupai badut.

Tak sembarang orang bisa menebak karakter asli si pemakai topeng. Seluruh karakter topeng begitu menyatu dalam diri si pemakai. Kalau bukan karena hubungan lama dan dekat, nyaris, tak seorang pun bisa memastikan apakah seseorang sedang mengenakan topeng atau tidak.

Semakin mahal topeng yang diperankan, semakin nyaman topeng dikenakan. Persis seperti yang diungkapkan sang penjual topeng, ”Pokoknya seperti tidak memakai topeng!”
(eramuslim.com)

Hidup

Mbok Inah masih celingukan memeriksa ruangan rumah majikan barunya. Begitu besar dan mewah. Begitu rapi dan bersih. Setidaknya untuk ukuran pembantu yang masih awam dengan gaya hidup di kota besar seperti Jakarta.

Satu hal yang menarik perhatian Mbok Inah. Di tiap ruangan, selalu ia jumpai tanaman bunga yang berdiri di atas pot. Ada pohon melati, mawar, ros, dan sri rejeki. Sebuah tanaman yang ‘menjual’ keindahan dedaunan.Tiap kali mendapati tanaman-tanaman itu, Mbok Inah secara reflek menyiapkan kemampuan penciumannya. Duh, betapa harumnya bunga-bunga itu.

Tapi, ia menemukan sebuah keanehan. Pasalnya, tak secuil pun aroma harum menyeruak dari bunga-bunga itu. “Aneh! Kok, ndak wangi?” batin Mbok Inah seperti memeriksa. Ketika Mbok Inah mendekati tanaman melati, hal yang sama terjadi. Padahal, aroma melati begitu tajam. Aneh!

“Ada yang mau Mbok tanyakan?” tanya ibu majikan ketika menangkap kebingungan Mbok Inah.

“Anu, Nya. Hmm, gimana saya bisa nyiram pot-pot bunga ini? Kalau disiram di sini, sayang sama lantainya yang bagus. Kalau dibawa keluar, saya ndak kuat. Pohonnya lumayan besar!” ungkap Mbok Inah menutupi kebingungannya.

“Mbok keliru!” ucap ibu majikan sambil senyum. “Keliru?” balas Mbok Inah spontan. “Iya. Pohon-pohon ini tidak asli. Ini dari plastik. Mbok Inah tak perlu menyiraminya,” jelas ibu majikan sambil mengajak pembantu barunya itu menyentuh salah satu tanaman bunga.

“Oalah! Pantas tidak wangi!” ucap Mbok Inah sambil tetap terkesima dengan keindahan dan kemiripan tanaman bunga-bunga itu.
**

Orang banyak bisa saja terpikat. Mereka begitu takjub dengan keindahan luar yang mempesona: penampilan, retorika, dan slogan. Tapi, tetap saja kalau kesegaran dan keharuman jiwa cuma bisa diraih dari sesuatu yang hidup.

Pegiat dakwah persis seperti tanaman bunga yang tidak hanya hadir memberikan keindahan dan ketentraman orang sekitar melalui pesona luarnya. Lebih dari itu, ia mestinya hadir memberikan kesegaran ruhani melalui sentuhan hidup hatinya. Dan, ruhani hanya akan bisa tersegarkan dengan kucuran air kehidupan: jernih, terus mengalir, dan tidak tebang pilih.

Hanya yang segar yang bisa memberikan kesegaran. Dan hanya yang hidup yang bisa memberikan kehidupan. Kesegaran ruhani, dan kehidupan hati. (muhammadnuh@eramuslim.com
)

Termos

Seorang anak memperhatikan ibunya yang sedang menuang air mendidih ke sebuah wadah. Terlihat kepulan asap yang mengiringi aliran air panas itu ke tempat yang ia belum paham.

"Apa itu, Bu?" tanyanya sesaat kemudian. Sang ibu menoleh perlahan sambil tangannya memegang kuat ceret berisi air panas yang masih terus mengalir ke tempat baru itu. "Oh, ini. Termos, Nak!" jawabnya singkat. Ia pun menuntaskan kegiatannya. Sebagian air panas dituang ke termos, dan sisanya masih berada di ceret.

"Kenapa dituang ke termos, Bu?" sang anak terus memperlihatkan rasa ingin tahunya. Ia tidak peduli kalau ibunya masih sibuk menutup dan memindahkan termos ke tempat semula. Setelah itu, sang ibu pun menoleh ke buah hatinya.

"Anakku. Termos itu tempat menyimpan air supaya tetap hangat," jawab sang ibu sambil senyum ke arah sang anak. "Sore nanti, kamu akan lihat kegunaannya," tambah sang ibu sambil membelai rambut si anak yang masih balita itu. Si anak pun mulai penasaran.

Akhirnya, sore pun datang. Dan, bocah yang selalu ingin tahu itu pun mendapatkan pelajaran baru dari ibunya. "Sini, Nak!" ucap sang ibu sambil menuangkan air dari termos ke gelas. "Apa yang kamu lihat, sayang?" tanya sang ibu seraya menatap wajah buah hatinya penuh bijaksana. "Airnya masih hangat, kan!" Sang anak pun mengangguk.

Pikirannya pun mengikuti gerak langkah ibunya yang kemudian menuangkan air dari ceret ke gelas yang lain. "Dan ini, coba kamu perhatikan. Air di ceret sudah tidak hangat lagi. Padahal, sumbernya sama-sama dari air yang tadi ibu masak," tutur sang ibu kemudian.

"Aneh ya, Bu?" respon si anak kemudian. "Anakku. Wadah termos terdiri dari kaca yang saling memantul. Dan dalam termos pun kedap udara. Itulah di antaranya, kenapa air dalam termos bisa tetap hangat!" jelas sang ibu seraya menatap buah hatinya yang mengangguk perlahan. *** Dalam diri manusia ada jiwa yang sangat menentukan seperti apa keadaan perilaku mereka. Jiwa yang terhangatkan oleh cahaya keimanan akan membangkitkan kesegaran optimisme, kesabaran, dan keikhlasan. Seorang mukmin mesti pandai-pandai menjaga kelanggengan kehangatan itu dalam sebuah termos jiwa. Di situlah, kehangatan tersimpan baik dalam pantulan cermin hati yang bersih dan suasana yang kedap dari segala kotoran. Dan, kehangatan jiwa pun akan terus terjaga.

Jangan biasakan jiwa yang semula hangat hanya tersimpan begitu saja dalam ceret yang terbuka. Karena kehangatan itu akan segera menguap bersama hembusan angin lingkungan yang tidak tentu arah.

Sayangnya, si empunya jiwa kerap tak sadar, kalau jiwa yang beberapa saat lalu masih hangat, ternyata sudah dingin. Bahkan mungkin sudah tercemar. (muhammadnuh@eramuslim.com
)