WELCOME

Minggu, 23 Januari 2011

Berapa Gaji Khalifah Islam?

Ketika diangkat sebagai khalifah, tepat sehari sesudahnya Abu Bakar r.a. terlihat berangkat ke pasar dengan barang dagangannya. Umar kebetulan bertemu dengannya di jalan dan mengingatkan bahwa di tangan Abu Bakar sekarang terpikul beban kenegaraan yang berat. “Mengapa kau masih saja pergi ke pasar untuk mengelola bisnis? Sedangkan negara mempunyai begitu banyak permasalahan yang harus dipecahkan…” sentil Umar.

Mendengar itu, Abu Bakar tersenyum. “Untuk mempertahankan hidup keluarga,” ujarnya singkat. “maka aku harus bekerja.”

Kejadian itu membuat Umar berpikir keras. Maka ia pun, bersama sahabat yang lain berkonsultasi dan menghitung pengeluaran rumah tangga khalifah sehari-hari. Tak lama, mereka menetapkan gaji tahunan 2,500 dirham untuk Abu Bakar, dan kemudian secara bertahap, belakangan ditingkatkan menjadi 500 dirham sebulan. Jika dikonversikan pada rupiah, maka gaji Khalifah Abu Bakar hanya sebebsar Rp. 72 juta dalam setahun, atau sekitar Rp 6 juta dalam sebulan. Sekadar informasi, nilai dirham tidak pernah berubah.

Meskipun gaji khalifah sebesar itu, Abu Bakar tidak pernah mengambil seluruhnya gajinya. Pada suatu hari istrinya berkata kepada Abu bakar, “Aku ingin membeli sedikit manisan.”

Abu Bakar menyahut, “Aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya.”

Istrinya berkata, “Jika engkau ijinkan, aku akan mencoba untuk menghemat uang belanja kita sehari-hari, sehingga aku dapat membeli manisan itu.”

Abu Bakar menyetujuinya.

Maka mulai saat itu istri Abu Bakar menabung sedikit demi sedikit, menyisihkan uang belanja mereka setiap hari. Beberapa hari kemudian uang itu pun terkumpul untuk membeli makanan yang diinginkan oleh istrinya. Setelah uang itu terkumpul, istrinya menyerahkan uang itu kepada suaminya untuk dibelikan bahan makanan tersebut.

Namun Abu Bakar berkata, “Nampaknya dari pengalaman ini, ternyata uang tunjangan yang kita peroleh dari Baitul Mal itu melebihi keperluan kita.” Lalu Abu bakar mengembalikan lagi uang yang sudah dikumpulkan oleh istrinya itu ke Baitul Mal. Dan sejak hari itu, uang tunjangan beliau telah dikurangi sejumlah uang yang dapat dihemat oleh istrinya.

Pada saat wafatnya, Abu Bakar hanya mempunyai sebuah sprei tua dan seekor unta, yang merupakan harta negara. Ini pun dikembalikannya kepada penggantinya, Umar bin Khattab. Umar pernah mengatakan, “Aku selalu saja tidak pernah bisa mengalahkan Abu Bakar dalam beramal shaleh.”

IBADAH 500 TAHUN Hanya Sebanding dengan Satu Kenikmatan

Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju kami, lalu bersabda, 'Baru saja kekasihku Malaikat Jibril keluar dariku dia memberitahu, 'Wahai Muhammad, Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran. Sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba di antara sekian banyak hambaNya yang melakukan ibadah kepadaNya selama 500 tahun, ia hidup di puncak gunung yang berada di tengah laut. Lebarnya 30 hasta dan panjangnya 30 hasta juga. Sedangkan jarak lautan tersebut dari masing-masing arah mata angin sepanjang 4000 farsakh. Allah mengeluarkan mata air di puncak gunung itu hanya seukuran jari, airnya sangat segar mengalir sedikit demi sedikit, hingga menggenang di bawah kaki gunung.

Allah juga menumbuhkan pohon delima, yang setiap malam mengeluarkan satu buah delima matang untuk dimakan pada siang hari. Jika hari menjelang petang, hamba itu turun ke bawah mengambil air wudhu’ sambil memetik buah delima untuk dimakan. Kemudian mengerjakan shalat. Ia berdoa kepada Allah Ta’ala jika waktu ajal tiba agar ia diwafatkan dalam keadaan bersujud, dan mohon agar jangan sampai jasadnya rusak dimakan tanah atau lainnya sehingga ia dibangkitkan dalam keadaan bersujud juga.

Demikianlah kami dapati, jika kami lewat dihadapannya ketika kami menuruni dan mendaki gunung tersebut.

Selanjutnya, ketika dia dibangkitkan pada hari kiamat ia dihadapkan di depan Allah Ta’ala, lalu Allah berfirman, 'Masukkanlah hambaKu ini ke dalam Surga karena rahmatKu.' Hamba itu membantah, 'Ya Rabbi, aku masuk Surga karena perbuatanku.'

Allah Ta’ala berfirman, 'Masukkanlah hambaKu ini ke dalam Surga karena rahmatKu.' Hamba tersebut membantah lagi, 'Ya Rabbi, masukkan aku ke surga karena amalku.'

Kemudian Allah Ta’ala memerintah para malaikat, 'Cobalah kalian timbang, lebih berat mana antara kenikmatan yang Aku berikan kepadanya dengan amal perbuatannya.'

Maka ia dapati bahwa kenikmatan penglihatan yang dimilikinya lebih berat dibanding dengan ibadahnya selama 500 tahun, belum lagi kenikmatan anggota tubuh yang lain. Allah Ta’ala berfirman, 'Sekarang masukkanlah hambaKu ini ke Neraka!'

Kemudian ia diseret ke dalam api Neraka. Hamba itu lalu berkata, 'Ya Rabbi, benar aku masuk Surga hanya karena rahmat-Mu, masukkanlah aku ke dalam SurgaMu.'

Allah Ta’ala berfirman, 'Kembalikanlah ia.'

Kemudian ia dihadapkan lagi di depan Allah Ta’ala, Allah Ta’ala bertanya kepadanya, 'Wahai hambaKu, Siapakah yang menciptakanmu ketika kamu belum menjadi apa-apa?'
Hamba tersebut menjawab, 'Engkau, wahai Tuhanku.'

Allah bertanya lagi, 'Yang demikian itu karena keinginanmu sendiri atau berkat rahmatKu?'
Dia menjawab, 'Semata-mata karena rahmatMu.'

Allah bertanya, 'Siapakah yang memberi kekuatan kepadamu sehingga kamu mampu mengerjakan ibadah selama 500 tahun?'
Dia menjawab, 'Engkau Ya Rabbi.'

Allah bertanya, 'Siapakah yang menempatkanmu berada di gunung dikelilingi ombak laut, kemudian mengalirkan untukmu air segar di tengah-tengah laut yang airnya asin, lalu setiap malam memberimu buah delima yang seharusnya berbuah hanya satu tahun sekali? Di samping itu semua, kamu mohon kepadaKu agar Aku mencabut nyawamu ketika kamu bersujud, dan aku telah memenuhi permintaanmu!?'
Hamba itu menjawab, 'Engkau ya Rabbi.'

Allah Ta’ala berfirman, 'Itu semua berkat rahmatKu. Dan hanya dengan rahmatKu pula Aku memasukkanmu ke dalam Surga. Sekarang masukkanlah hambaKu ini ke dalam Surga! HambaKu yang paling banyak memperoleh kenikmatan adalah kamu wahai hambaKu.' Kemudian Allah Ta’ala memasukkanya ke dalam Surga."

Jibril ‘Alaihis Salam melanjutkan, "Wahai Muhammad, sesungguhnya segala sesuatu itu terjadi hanya berkat Rahmat Allah Ta’ala." (HR. Al-Hakim, 4/250.)

Apakah Uang Saya Berbeda?

Seorang anak berbaju kumuh, dengan rambut acak-acakan diam di tengah kerumunan berdiri lama, menunggu pesanan yang tak kunjung datang.
Satu per satu orang telah mendapat pesanannya tetapi tidak untuk anak ini, ia tetap menunggu sekalipun orang lain yang baru datang sudah mendapat bagian.
Sesekali ia melihat tangannya yang menggenggam erat uang kertas yang sudah kumal dan recehan logam.
Setiap kali ia bertanya kapan pesanannya tiba, pelayan mengatakan harus melayani pesanan lain dulu.
Tampaknya ia sadar aku memperhatikannya, sehingga ia berani mendekat dan bertanya :
“Pak, apa uang saya berbeda dengan yang lain?”
Pertanyaan yang aneh. Apa maksudnya?
Ternyata anak ini sudah sejak lama lebih menunggu pesanannya, bahkan sebelum aku tiba dan mendapatkan pesanan ku.
Anak ini hanya memesan satu potong ayam dan kentang goreng yang dijanjikan untuk adiknya yang sedang sakit. Butuh waktu seminggu baginya untuk mengumpulkan uang untuk bisa membeli makanan ‘semewah’ itu. Sepotong ayam goreng dan kentang fries.
Aku datang ke pelayan dan menanyakan pesanan anak ini yang sejak tadi tidak pernah muncul.
Ajaib, hanya dalam 1 menit pesanannya pun tiba, ia dengan bangga membayar pesanannya dengan uangnya dan segera bergegas pulang membayangkan senyum adiknya yang akan menyambutnya gembira.

Aku bahkan belum sempat menjawab pertanyaannya?
”Apakah uang saya berbeda?”
Kalau aku sempat menjawab mungkin aku akan mengatakan
“Tidak nak, uang kamu tidak berbeda, hanya saja ada orang yang tidak punya hati dan membeda-bedakan orang hanya karena tampilan fisiknya!”
Tapi mungkin jawaban itu bisa menyakiti hatinya juga, jadi untung saja aku tak menjawabnya.

Sekalipun uangnya uang yang sama, karena ia miskin, ia diperlakukan semena-mena!
Sekalipun pertanyaannya pertanyaan yang sama, ia dijawab seenaknya?
Karena miskin ia dilihat sebelah mata!
Pernahkah Anda menyaksikan kenyataan demikian?

Sebenarnya ini bukan sekedar kisah kepedulian kita pada si miskin,
lebih dari itu ini adalah pelajaran tentang penghargaan kita pada esensi bukan pada simbol
Penghargaan kita pada inti bukan pada fisik.

Kadang-kadang kita menganggap rendah atau menyepelekan orang bahkan anak kita sendiri hanya karena mereka terlihat muda dan kecil.
Kadang kadang kita menganggap remeh ide atau jika muncul dari anak kecil atau anak-anak kita, padahal yang kita harus lihat adalah isi idenya bukan berapa umurnya.

Kadang-kadang kita menyepelekan masukan dari pegawai karena ia pendidikannya lebih rendah atau gajinya lebih rendah, padahal yang harus kita lihat adalah isi idenya.

Sudah saatnya kita lebih melihat visi daripada fisik!
Bagaimana dengan Anda?

Percakapan Rasul dengan Syaitan

(saya ambil dr notes tmn saya yg ats kesediaannya mw berbagi ilmu dg saya, smg ada mnfaatnya)

Iblis Terpaksa Bertamu Kepada Rasulullah SAW (dari Muadz bin Jabal dari Ibn Abbas)

Ketika kami sedang bersama Rasulullah SAW di kediaman seorang sahabat Anshar, tiba - tiba terdengar panggilan seseorang dari luar rumah: "Wahai penghuni rumah, bolehkah aku masuk..? Sebab kalian akan membutuhkanku. "

Rasulullah bersabda:"Tahukah kalian siapa yang memanggil?"

Kami menjawab: "Allah dan rasulNya yang lebih tahu."

Beliau melanjutkan, "Itu Iblis, laknat Allah bersamanya."

Umar bin Khattab berkata: "izinkan aku membunuhnya wahai Rasulullah"


Nabi menahannya: "Sabar wahai Umar, bukankah kamu tahu bahwa Allah memberinya kesempatan hingga hari kiamat? Lebih baik bukakan pintu untuknya, sebab dia telah diperintahkan oleh Allah untuk ini, pahamilah apa yang hendak ia katakan dan dengarkan dengan baik."


Ibnu Abbas RA berkata: pintu lalu dibuka, ternyata dia seperti seorang kakek yang cacat satu matanya. di janggutnya terdapat 7 helai rambut seperti rambut kuda, taringnya terlihat seperti taring babi, bibirnya seperti bibir sapi.


Iblis berkata: "Salam untukmu Muhammad,... . salam untukmu para hadirin..."

Rasulullah SAW lalu menjawab: Salam hanya milik Allah SWT, sebagai mahluk terlaknat, apa keperluanmu?"

Iblis menjawab: "Wahai Muhammad, aku datang ke sini bukan atas kemauanku, namun karena terpaksa."

" Siapa yang memaksamu?"

Seorang malaikat dari utusan Allah telah mendatangiku dan berkata:

"Allah SWT memerintahkanmu untuk mendatangi Muhammad sambil menundukkan diri.beritahu Muhammad tentang caramu dalam menggoda manusia. jawabalah dengan jujur semua pertanyaannya. Demi kebesaran Allah, andai kau berdusta satu kali saja, maka Allah akan jadikan dirimu debu yang ditiup angin."

oleh karena itu aku sekarang mendatangimu. Tanyalah apa yang hendak kau tanyakan. jika aku berdusta, aku akan dicaci oleh setiap musuhku. tidak ada sesuatu pun yang paling besar menimpaku daripada cacian musuh."

Orang Yang Dibenci Iblis

Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Iblis: "Kalau kau benar jujur, siapakah manusia yang paling kau benci?"

Iblis segera menjawab: "Kamu, kamu dan orang sepertimu adalah mahkluk Allah yang paling aku benci."

"Siapa selanjutnya?"

"Pemuda yang bertakwa yang memberikan dirinya mengabdi kepada Allah SWT."

"lalu siapa lagi?"

"Orang Aliim dan wara' (Loyal)"

"Lalu siapa lagi?"

"Orang yang selalu bersuci."

"Siapa lagi?"

"Seorang fakir yang sabar dan tak pernah mengeluhkan kesulitannnya kepda orang lain."

"Apa tanda kesabarannya?"

"Wahai Muhammad, jika ia tidak mengeluhkan kesulitannya kepada orang lain selama 3 hari, Allah akan memberi pahala orang -orang yang sabar."

" Selanjutnya apa?"

"Orang kaya yang bersyukur."

"Apa tanda kesyukurannya?"

"Ia mengambil kekayaannya dari tempatnya, dan mengeluarkannya juga dari tempatnya."

"Orang seperti apa Abu Bakar menurutmu?"

"Ia tidak pernah menurutiku di masa jahiliyah, apalagi dalam Islam."

"Umar bin Khattab?"

"Demi Allah setiap berjumpa dengannya aku pasti kabur."

"Usman bin Affan?"

"Aku malu kepada orang yang malaikat pun malu kepadanya."

"Ali bin Abi Thalib?"

"Aku berharap darinya agar kepalaku selamat, dan berharap ia melepaskanku dan aku melepaskannya. tetapi ia tak akan mau melakukan itu." (Ali bin Abi Thalib selau berdzikir terhadap Allah SWT)

Amalan Yang Dapat Menyakiti Iblis

"Apa yang kau rasakan jika melihat seseorang dari umatku yang hendak shalat?"

"aku merasa panas dingin dan gemetar."

"Kenapa?"

"Sebab, setiap seorang hamba bersujud 1x kepada Allah, Allah mengangkatnya 1 derajat."

"Jika seorang umatku berpuasa?"

"Tubuhku terasa terikat hingga ia berbuka."

"Jika ia berhaji?"

"Aku seperti orang gila."

"Jika ia membaca al-Quran?"

"Aku merasa meleleh laksana timah diatas api."

"Jika ia bersedekah?"

"Itu sama saja orang tersebut membelah tubuhku dengan gergaji."

"Mengapa bisa begitu?"

"Sebab dalam sedekah ada 4 keuntungan baginya. yaitu keberkahan dalam hartanya, hidupnya disukai, sedekah itu kelak akan menjadi hijab antara dirinya dengan api neraka dan segala macam musibah akan terhalau dari dirinya."

"Apa yang dapat mematahkan pinggangmu?"

"Suara kuda perang di jalan Allah."

"Apa yang dapat melelehkan tubuhmu?"

"Taubat orang yang bertaubat."

"Apa yang dapat membakar hatimu?"

"Istighfar di waktu siang dan malam."

"Apa yang dapat mencoreng wajahmu?"

"Sedekah yang diam - diam."

"Apa yang dapat menusuk matamu?"

"Shalat fajar."

"Apa yang dapat memukul kepalamu?"

"Shalat berjamaah."

"Apa yang paling mengganggumu?"

"Majelis para ulama."

"Bagaimana cara makanmu?"

"Dengan tangan kiri dan jariku."

"Dimanakah kau menaungi anak - anakmu di musim panas?"

"Di bawah kuku manusia."


Manusia Yang Menjadi Teman Iblis

Nabi lalu bertanya : "Siapa temanmu wahai Iblis?"

"Pemakan riba."

"Siapa sahabatmu?"

"Pezina."

"Siapa teman tidurmu?"

"Pemabuk."

"Siapa tamumu?"

"Pencuri."

"Siapa utusanmu?"

"Tukang sihir."

"Apa yang membuatmu gembira?"

"Bersumpah dengan cerai."

"Siapa kekasihmu?"

"Orang yang meninggalkan shalat jumaat"

"Siapa manusia yang paling membahagiakanmu?"

"Orang yang meninggalkan shalatnya dengan sengaja."



Iblis Tidak Berdaya Di hadapan Orang Yang Ikhlas

Rasulullah SAW lalu bersabda : "Segala puji bagi Allah yang telah membahagiakan umatku dan menyengsarakanmu."

Iblis segera menimpali:

"Tidak,tidak... tak akan ada kebahagiaan selama aku hidup hingga hari akhir.

Bagaimana kau bisa berbahagia dengan umatmu, sementara aku bisa masuk ke dalam aliran darah mereka dan mereka tak bisa melihatku. Demi yang menciptakan diriku dan memberikan ku kesempatan hingga hari akhir, aku akan menyesatkan mereka semua. Baik yang bodoh, atau yang pintar, yang bisa membaca dan tidak bisa membaca, yang durjana dan yang shaleh, kecuali hamba Allah yang ikhlas."

"Siapa orang yang ikhlas menurutmu ?"

"Tidakkah kau tahu wahai Muhammad, bahwa barang siapa yang menyukai emas dan perak, ia bukan orang yang ikhlas. Jika kau lihat seseorang yang tidak menyukai dinar dan dirham, tidak suka pujian dan sanjunang, aku bisa pastikan bahwa ia orang yang ikhlas, maka aku meninggalkannya. Selama seorang hamba masih menyukai harta dan sanjungan dan hatinya selalu terikat dengan kesenangan dunia, ia sangat patuh padaku."

Tahukah kamu Muhammad, bahwa aku mempunyai 70.000 anak. Dan setiap anak memiliki 70.000 syaithan.

Sebagian ada yang aku tugaskan untuk mengganggu ulama. Sebagian untuk menggangu anak - anak muda, sebagian untuk menganggu orang -orang tua, sebagian untuk menggangu wanta - wanita tua, sebagian anak -anakku juga aku tugaskan kepada para Zahid.

Aku punya anak ynag suka mengencingi telinga manusia sehingga ia tidur pada shalat berjamaah. tanpanya, manusia tidak akan mengantuk pada waktu shalat berjamaah.

aku punya anak yang suka menaburkan sesuatu di mata orang yang sedang mendengarkan ceramah ulama hingga mereka tertidur dan pahalanya terhapus.

Aku punya anak yang senang berada di lidah manusia, jika seseorang melakukan kebajikan lalu ia beberkan kepada manusia, maka 99% pahalanya akan terhapus.

Pada setiap seorang wanita yang berjalan, anakku dan syaithan duduk di pinggul dan pahanya, lalu menghiasinya agar setiap orang memandanginya.

Syaithan juga berkata,"keluarkan tanganmu", lalu ia mengeluarkan tangannya lalu syaithan pun menghiasi kukunya.

Cara Iblis Menggoda

Tahukah kau Muhammad, dusta berasal dari diriku?

Akulah mahluk pertama yang berdusta.

Pendusta adalah sahabatku. barangsiapa bersumpah dengan berdusta, ia kekasihku.

Tahukah kau Muhammad?

Aku bersumpah kepada Adam dan Hawa dengan nama Allah bahwa aku benar - benar menasihatinya.

Sumpah dusta adalah kegemaranku.

Ghibah (gossip) dan Namimah (Adu domba) kesenanganku.

Kesaksian palsu kegembiraanku.

Wahai Muhammad, umatmu ada yang suka mengulur ulur shalat. Setiap ia hendak berdiri untuk shalat, aku bisikan padanya waktu masih lama, kamu masih sibuk, lalu ia manundanya hingga ia melaksanakan shalat di luar waktu, maka shalat itu dipukulkannya kemukanya.

Jika ia berhasil mengalahkanku, aku biarkan ia shalat. Namun aku bisikkan ke telinganya 'lihat kiri dan kananmu', iapun menoleh. pada saat iatu aku usap dengan tanganku dan kucium keningnya serta aku katakan 'shalatmu tidak sah'

Bukankah kamu tahu Muhammad, orang yang banyak menoleh dalam shalatnya akan dipukul.

Jika ia shalat sendirian, aku suruh dia untuk bergegas. ia pun shalat seperti ayam yang mematuk beras.

jika ia berhasil mengalahkanku dan ia shalat berjamaah, aku ikat lehernya dengan tali, hingga ia mengangkat kepalanya sebelum imam, atau meletakkannya sebelum imam.

Kamu tahu bahwa melakukan itu batal shalatnya dan wajahnya akan dirubah menjadi wajah keledai.

Jika ia berhasil mengalahkanku, aku tiup hidungnya hingga ia menguap dalam shalat. Jika ia tidak menutup mulutnya ketika mnguap, syaithan akan masuk ke dalam dirinya, dan membuatnya menjadi bertambah serakah dan gila dunia.

Dan iapun semakin taat padaku.

Kebahagiaan apa untukmu, sedang aku memerintahkan orang miskin agar meninggalkan shalat. aku katakan padaknya, 'kamu tidak wajib shalat, shalat hanya wajib untuk orang yang berkecukupan dan sehat. orang sakit dan miskin tidak, jika kehidupanmu telah berubah baru kau shalat.'

Ia pun mati dalam kekafiran.

Ketika Aku Menjaganya, Allah Menjagaku

“Ta, hafalannya udah nambah belum?” “Mmm… Mmm… Belum.” Begitu terus pertanyaan papah dan begitu terus jawabanku. Menjaga yang sudah ada saja sulit, begitu pikirku dan aku berusaha untuk muroja’ah saja. Nyatanya untuk muroja’ah saja tanpa ziyadah memang sudah sangat susah.

Aku bukan penggemar seorang Mario Teguh, hanya waktu itu kebetulan televisi yang dinyalakan sedang menayangkan Golden Ways. “Jangan risaukan akan kekurangan-kekurangan kita, tapi maksimalkan kelebihan yang kita miliki walaupun hanya satu bidang.” Saat itu aku berfikir dan menyadari ternyata selama ini aku memang selalu berputar-putar pada kekuranganku. Tanpa pernah memaksimalkan kelebihan yang aku miliki.

Selepas Ramadhan maka mulailah kulanjutkan ziyadahku. Sejak sampai SMU ziyadahku hanya mentok di juz 26. Juz 25 ayatnya mulai susah, kurang familiar, dan panjang-panjang. Mungkin ini karena kurang motivasi saja. Saat kuliah aku ikut lembaga tahfidz qur’an An-Nur. Awalnya diajak oleh senior satu wisma. Sempat pikir-pikir juga sih karena biayanya cukup mahal untuk ukuran anak kos yang jauh dari orang tua.

Ternyata di wisma ada tiga orang senior dan satu orang temanku yang juga ikut, aku jadi semangat karena ada teman. Di An-Nur memang menganjurkan ziyadah mulai dari depan (Al-Baqoroh). Akhirnya mulailah aku berkutat di Al-Baqoroh. Ayatnya ternyata memang relatif lebih mudah, easy listening rasanya. Dan lagi-lagi hanya mentok di akhir Al-Baqoroh. Karena kesibukan (yang sebenarnya mungkin hanya alasan semata) dan malas saat tiba masanya ujian akhirnya aku berhenti dari An-Nur.

Saat ini aku mulai mencoba untuk ziyadah kembali. Mencoba menaklukan Ali-Imron. Lumayan sedikit-sedikit sambil menunggu pasien. Jika dipikir-pikir memang ternyata lebih sulit. Kali ini bukan terkendala kepada masalah sulitnya ayat, tetapi lebih kepada karena aku berjalan sendiri tanpa seorang hafiz atau hafizoh tempat aku menyetorkan hafalanku seperti dulu.

Tanpa ada standar apakah aku sudah berhak melaju ke jenjang ayat berikutnya atau masih harus terus mengulangnya. Tak ada lagi ujian kenaikan juz, ujian setiap akhir catur wulan, atau ujian tiap periode akhir semester. Semua akulah yang mengontrol. Aku yang harus terus bangkit saat godaan-godaan kemalasan datang menghinggapi jiwa.

Teringat sebuah perkataan dari Ustad ‘Abbas Al-hafiz, semoga Allah senantiasa merahmati dirinya dan keluarganya “Kita dan Al-Qur’an itu seperti satu jiwa, satu nyawa. Rasanya jika kita menyetorkan hafalan kita maka Al-qur’an harus selalu kita pegang karena dengan seperti itu kita akan merasa lancar. Padahal sebenarnya jiwa kita dan Al-Qur’an menyatu jika kita menyetorkan hafalan kita justru tanpa memegang Al-Qur’an. Bila lancar melafalkannya maka disitulah jiwa kita menyatu dengan Al-Qur’an.”

Ada tiga jenis hafalan, dari sinilah kita sesungguhnya bias mengetahui kualitas hafalan kita. Hafalan otak, hafalan mulut, hafalan hati. Pertama; hafalan otak yaitu hafalan Al-Qur’an yang jika kita melafalkannya maka kita butuh konsentrasi penuh, kalau bisa suasana tenang, tidak ada gangguan. Jika kita lupa akan suatu ayat, maka kita akan berpikir keras, meminta clue kepada penyimak hafalan kita berupa arti dari awal ayat atau satu kata dari awal ayat tersebut. Kedua; hafalan mulut yaitu bila kita mampu melafalkan hafalan kita sambil mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Sambil menyapu, memasak, mengepel hafalan itu mengalir dari mulut kita tanpa cela. Ketiga, hafalan hati yang merupakan kualitas hafalan tertinggi.

Cara mengetesnya mudah saja, bangunkan orang yang sedang tidur kemudian langsung berikan satu buah ayat. Jika ia berhasil melanjutkan ayat tersebut tanpa berfikir terlebih dahulu maka hafalannya telah mencapai hafalan hati. Subhanallah… jadi malu, adakah hafalanku yang sudah mencapai hafalan hati?

Setiap orang memiliki cara ziyadah yang berbeda-beda. Namun yang saat ini saya pakai adalah dengan membaca ayat yang akan dihafal tiga kali (kalau malas sedang mendera kadang hanya satu kali) kemudian membaca artinya. Lebih bagus menghafal dengan Al-Qur’an yang ada terjemah kata per katanya (seperti Inayah, Syamiil ukuran besar; bukan promosi lho…) sehingga akan lebih mudah dipahami. Menghafal jadi seperti membaca sebuah kisah indah, bila lupa mudah untuk merecall kembali. Ulang terus hingga benar-benar lancar.

Jika sudah lancar maka ulanglah dari ayat sebelumnya. Begitu juga saat akan melaju ke ayat selanjutnya. Bila telah hafal maka ulanglah dari dua ayat sebelumnya. Untuk juz-juz yang berisi beberapa surat, maka jika telah hafal sebuah surat ulanglah dari surat sebelumnya. Otomatis dengan begitu surat yang paling dahulu kita hafal di juz tersebut akan menjadi yang terlancar bahkan bisa menjadi hafalan hati. Coba saja juz 30, insyaAllah An-Naba-lah yang paling mudah. Sambil merem juga lancar. Di juz 29, Al-Mulk yang paling ok.

Usia pun mempengaruhi daya tangkap kita. Rasanya An-Naba yang dihafal dari SD tidak pernah lupa-lupa tapi yang baruuu saja kita hafal jika tidak kita ulang-ulang saja selama dua hari, langsung deh lupa lupa inget. Apalagi ditambah melakukan maksiat (walaupun menurut ukuran kita hanya maksiat kecil), pasti jadi harus seperti ziyadah ulang. Weleh…weleh… Karena saat kecil (sebelum baligh) kita masih tanpa dosa, berfikir jernih, tidak neko-neko maka ziyadah pun akan lebih mudah.

Tak heran banyak pesantren tahfidz Qur’an yang mencetak hafidz hafidzoh saat usia santrinya setara kelas 6 SD. Subhanallah… Kita memang telah tertutup kemungkinan menjadi hafidz/hafidzoh di usia dini, tapi kelak kita bisa mewujudkan hal tersebut melalui anak-anak kita kelak.

Setiap hafidz hafidzoh memiliki ciri khas yang berbeda saat menyimak hafalan kami. Air mata seakan berlomba turun saat teringat Pak ‘Abbas yang tetap tahu kesalahan murid-muridnya walaupun beliau menyimak hafalan kami seakan tertidur. Pak Masrur yang selalu membenarkan tajwid. Bu Husnul dengan deheman-dehemannya ketika aku salah baca. Atau ketukan-ketukan pulpen di meja yang terdengar saat (lagi-lagi) aku salah baca. Wajah-wajah teduh itu bisakah menjadi wajahku juga?

Kembali teringat saat wisuda di Rafah. Saat para hafidz muda (setara kelas 3 SMU) dipanggil namanya, air mata ini kembali mengalir. Mereka telah mempersembahkan mahkota dan baju emas untuk kedua orang tuanya di yaumil akhir kelak. Bisakah aku?

Salah seorang pasienku hari ini adalah seorang ustad Rafah yang berasal dari Mesir, asli Mesir, dan berbicara bahasa arab. Beliau ditemani oleh ‘Arij (putra dari Ustad Natsir pemilik Pesantren Rafah tempatku saat ini mengabdikan diri) sebagai penerjemah. ‘Arij yang baru saja naik ke kelas 2 SMP, ‘Arij yang masih lucu, ‘Arij yang masih mencium tanganku, berbicara dengan beliau dalam al-lughotul ‘arabiyyah. Itu bahasa ahli syurga kawan, bahasa para penghuni syurga yang wajahnya senantiasa berseri. Anak sekecil itu.

Dan aku kembali malu pada diri ini mengingat pelajaran bahasa arabku yang sangat minim dan banyak lupanya sejak lulus SMU. Ya Allah, bisakah aku memasuki syurga-Mu? Di mana para penghuninya berbicara dalam bahasa Al-Qur’an, bahasa yang sangat indah.
Saat tulisan ini aku buat genap usiaku seperempat abad dan belum sampai tiga minggu aku kembali menggiatkan ziyadahku. Namun aku mendapatkan begitu banyak kemudahan dan keindahan di hari ini. Seperti Allah sedang memelukku.

Padahal aku baru sedikit sekali ziyadah, muroja’ah pun masih belang bentong. Ya Allah berikanlah selalu hidayah-Mu kepadaku, para penghafal dan pemelihara Al-Qur’an agar senantiasa bersama Al-Qur’an saat kami lapang maupun sempit, saat kami senang maupun susah, saat kami kaya maupun miskin, saat kami sehat maupun sakit, dan sepanjang hidup kami. Ya Allah curahkanlah syafa’at-Mu selalu kepada para penjaga Al-Qur’an di yaumil akhir kelak.

Aku ingin mempunyai amalan unggulan dan saat ini ziyadahlah yang aku pilih di saat amalan lain terasa lebih berat (terutama sebagai ibu hamil). Aku ingin janin dalam rahimku turut mendengarnya saat aku ziyadah, turut merasakan nikmatnya ziyadah, dan aku ingin kelak ia menjadi hafidzoh.

Kamis, 20 Januari 2011

Apa Salahnya Menangis?

Apa salahnya menangis, jika memang dengan menangis itu manusia menjadi sadar. Sadar akan kelemahan-kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang sanggup menolongnya dari keterpurukan selain Allah Swt. Kesadaran yang membawa manfaat dunia dan akhirat. Bukankah kondisi hati manusia tiada pernah stabil? Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang dihadapinya. Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira dan saat dilanda musibah tidak sedikit orang yang putus asa bahkan berpaling dari kebenaran.

Sebagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam cengeng ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak akan mampu melawan musuh-musuhnya. Para orang tua di Jepang akan memarahi anaknya jika mereka menangis karena dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis adalah hal yang hanya dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai prinsip hidup.

Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan pertanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya maupun umatnya. Rasulullah Saw meneteskan air matanya ketika ditinggal mati oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra digelari oleh anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis). Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat dibelakang Rasulullah Saw karena mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar suatu ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang membaca Al Qur'an, ketika sampai pada ayat: "Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam" (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada saat itu juga beliau diam berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan-akan sedang menghadap Robbnya, kemudian beliau menangis. Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para sahabatnya benar-benar memahami dan merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka. Lembutnya hati mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.

Bukankah diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa kepada Robbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata? Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo'a sendirian jika hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya justru maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang bermaksiat saat sendiri di dalam kamarnya seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian dikala berdo'a kepada Tuhannya. Sadar betapa berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia ini.

Di zaman ketika manusia lalai dalam gemerlap dunia, seorang mukmin akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga lembutan dan kepekaan jiwanya. Dia akan mudah meneteskan air mata demi melihat kehancuran umatnya. Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang yang tanggap terhadap permasalahan umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin bersenang-senang dan bersuka ria ketika tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa berbagai ujian, cobaan, dan fitnah. Mukmin yang sesungguhnya akan dengan sigap membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak mampu menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada Tuhan semesta alam.

Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran. "Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata: "Ya Robb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur'an dan kenabian Muhammad)". (QS. Al Maidah: 83).

Ja'far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22 kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.

Orang yang keras hatinya, akan sulit menangis saat dibacakan ayat-ayat Allah. Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah Saw, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah Swt mengecam keadaan mereka di akhirat nanti, "Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolongpun bagi mereka". (QS. An Nisa': 145)

Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka menangislah disaat membaca Al Qur'an, menangislah ketika berdo'a di sepertiga malam terakhir, menangislah karena melihat kondisi umat yang terpuruk, atau tangisilah dirimu karena tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah. Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur iman dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit tertawa karena dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia. "Maka mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan". (QS At Taubah: 82).

Titip Ibuku Ya Allah

" Nak, bangun... udah adzan subuh. Sarapanmu udah ibu siapin di meja..."

Tradisi ini sudah berlangsung 21 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat. Kini usiaku sudah hampir kepala 3 dan aku jadi seorang karyawan disebuah Perusahaan swasta, tapi kebiasaan Ibu tak pernah berubah.

" Ibu sayang... ga usah repot-repot Bu, aku dan adik-adikku udah dewasa"

Pintaku pada Ibu pada suatu pagi. Wajah tua itu langsung berubah. Pun ketika Ibu mengajakku makan siang di sebuah restoran. Buru-buru kukeluarkan uang dan kubayar semuanya. Ingin kubalas jasa Ibu selama ini dengan hasil keringatku. Raut sedih itu tak bisa disembunyikan. Kenapa Ibu mudah sekali sedih ? Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami kesulitan memahami Ibu karena dari sebuah
artikel yang kubaca .... orang yang lanjut usia bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak ..... tapi entahlah.... Niatku ingin membahagiakan malah membuat Ibu sedih. Seperti biasa, Ibu tidak akan pernah mengatakan apa-apa.

Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya, " Bu, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan Ibu. Apa yang bikin Ibu sedih ? "

Kutatap sudut-sudut mata Ibu, ada genangan air mata di sana . Terbata-bata Ibu berkata, " Tiba-tiba Ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ibu. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri ".

Ah, Ya Allah, ternyata buat seorang Ibu .. bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya. Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka dirii melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing.

Diam-diam aku bermuhasabah. .. Apa yang telah kupersembahkan untuk Ibu dalam usiaku sekarang ? Adakah Ibu bahagia dan bangga pada putera putrinya ? Ketika itu kutanya pada Ibu, Ibu menjawab, " Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada Ibu. Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan . Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat Ibu. Kalian berprestasi di pekerjaan adalah kebanggaan buat Ibu . Setelah dewasa, kalian berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat Ibu. Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua."

Lagi-lagi aku hanya bisa berucap, " Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada Ibu. Masih banyak alasan ketika Ibu menginginkan sesuatu. "

Betapa sabarnya Ibuku melalui liku-liku kehidupan. Sebagai seorang wanita karier seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan Ibuku untuk "cuti" dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu. Tapi tidak! Ibuku seorang yang idealis. Menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun. Pukul 3 dinihari Ibu bangun dan membangunkan kami untuk tahajud. Menunggu subuh Ibu ke dapur menyiapkan sarapan sementara aku dan adik-adik sering tertidur lagi... Ah, maafin kami Ibu .... 18 jam sehari sebagai "pekerja" seakan tak pernah membuat Ibu lelah.. Sanggupkah aku ya Allah ?

" Nak... bangun nak, udah azan subuh ... sarapannya udah Ibu siapin dimeja.. " Kali ini aku lompat segera.. kubuka pintu kamar dan kurangkul Ibu sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan, " Terimakasih Ibu, aku beruntung sekali memiliki Ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan Ibu...". Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan. .. Cintaku ini milikmu, Ibu... Aku masih sangat membutuhkanmu. .. Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu..

Sahabat.. tidak selamanya kata sayang harus diungkapkan dengan kalimat "aku sayang padamu... ", namun begitu, Rasulullah menyuruh kita untuk menyampaikan rasa cinta yang kita punya kepada orang yang kita cintai karena Allah.

Ayo kita mulai dari orang terdekat yang sangat mencintai kita ... Ibu dan ayah walau mereka tak pernah meminta dan mungkin telah tiada. Percayalah.. kata-kata itu akan membuat mereka sangat berarti dan bahagia.

Rabu, 19 Januari 2011

Sekedar Kata-Kata

Sahabatku,

Boleh jadi masalah yang membelenggu kita,

Tumpukan hutang yang memhimpit dada,

Kesedihan yang memeras air mata,

ataupun

Kegalauan yang menyelimuti jiwa,



Hakikatnya,

Itu hanyalah pangilan agar kita kembali pada-Nya.



Saudaraku, malam ini

Mendekatlah kepada-Nya, Berlarilah menuju-Nya,

Sambutlah pelukan hangat-Nya, Puaskan kerinduan-Nya

Sungguh Dialah Zat yang paling besar cintanya padamu.



Biarlah bintang dan rembulan menjadi saksi

Akan indahnya cinta

Antara seorang hamba dengan Rabbnya.

Sekuntum Mawar Untukmu

Seorang gadis remaja datang menemui ayahnya yang sedang menyendiri. Ia mengadu pada ayahnya tentang masa kecil yang dianggapnya tak sebahagia teman-temannya dulu. Memang kehidupan keluarga tersebut sangat sederhana, jauh dari kemewahan dan kemapanan.



“Yah, kenapa selama aku kecil, ayah jarang sekali memberikan hadiah untukku? Bahkan saat aku mendapat juara kelas dan di hari ulang tahunku pun, sebuah hadiah hampir tak pernah aku dapatkan dari ayah, kenapa yah?” tanya gadis itu kepada ayahnya.



Tajam matanya menerawang jauh ke depan, kemudian ayahnya menjawab,



“Nak memang ayah tak pernah memberi hadiah boneka dan mainan apapun padamu selayaknya teman-temanmu yang lain, tapi sejak kecil hingga kini, telah ayah berikan untukmu hadiah yang sangat berharga dalam hidupmu, sekuntum mawar indah.”



Mengernyit dahi anak gadisnya tanda keheranan, “Hah, sekuntum mawar indah? Kapan? Seingatku ayah tak pernah memberiku hadiah sekuntum mawar.”



Dengan halus lembut tanda bijaksana, lalu,



“Nak, telah kuberikan sekuntum mawar nan indah untukmu sejak dulu. Yang harumnya mampu melembutkan tutur katamu. Indah kelopaknya mampu membuatmu bijaksana. Dan duri tajam di tangkainya mampu menjagamu dari tangan – tangan jahat yang hendak mengambilnya dari genggamanmu.”



“Ia selalu mekar mewangi bila malam tiba dan ia kan melayu bila engkau melalaikannya. Harum baunya, indah kelopaknya dan tajam durinya takkan pernah engkau dapatkan di taman-taman bunga mana pun engkau berada.”



“Maksud ayah?” tanya anak gadisnya penuh heran dengan apa yang barusan didengarnya.



“Harum baunya adalah santun kata yang selalu ia ajarkan untukmu hingga engkaupun menjadi santun dalam bertutur. Indah kelopaknya adalah akhlak mulya yang dicontohkannya padamu hingga engkaupun menjadi bijaksana. Dan duri tajam di tangkainya adalah peringatan keras yang ia tegaskan padamu agar setan tak mengambil celah dari iman di dadamu.”



“Ia selalu mekar mewangi saat malam tiba sebagaimana ia selalu tegak terjaga dalam tahajjudnya di sepertiga malam terakhir. Layunya adalah gundah hatinya tatkala engkau melalaikan dan menyakitinya. Santun kata, indah akhlak dan peringatan kerasnya takkan pernah engkau temukan ditempat lain dimanapun engkau berada. Karena sekuntum mawar indah itu milikmu satu-satunya,” ujar ayahnya lirih penuh makna.



Sambil menunjuk seorang wanita yang terbaring lemah di atas dipan bambu tua karena sakit, ia berkata,



“Sekuntum mawar indah itu ibumu.”



Melangkah pelan gadis remaja tersebut dengan mata berkaca-kaca menuju wanita itu sembari berkata,



“Aku sayang ibu…”

Dendam Positif

Di sebuah perusahaan pertambangan minyak di Arab Saudi, di akhir tahuin 40-an.

Seorang pegawai rendahan, remaja lokal asli Saudi, kehausan dan bergegas mencari air

untuk menyiram tenggorokannya kering.



Ia begitu gembira ketika melihat air dingin yang tampak didepannya dan bersegera mengisi air dingin ke dalam gelas.

Belum sempat ia minum, tangannya terhenti oleh sebuah hardikan:



"Hei, kamu tidak boleh minum air ini. Kamu cuma pekerja rendahan. Air ini hanya khusus untuk insinyur"

Suara itu berasal dari mulut seorang insinyur Amerika yang bekerja di perusahaan tersebut.

Remaja itu akhirnya hanya terdiam menahan haus.

Ia tahu ia hanya anak miskin lulusan sekolah dasar.

Kalaupun ada pendidikan yang dibanggakan, ia lulusan lembaga Tahfidz Quran,

tapi keahlian itu tidak ada harganya di perusahaan minyak yang saat ini masih dikendalikan oleh manajeman Amerika.

Hardikan itu selalu terngiang di kepalanya.

Ia lalu bertanya-tanya:

Kenapa ini terjadi padaku?

Kenapa segelas air saja dilarang untuk ku?

Apakah karena aku pekerja rendahan, sedangkan mereka insinyur?

Apakah kalau aku jadi insinyur aku bisa minum?

Apakah aku bisa jadi insinyur seperti mereka?

Pertanyaan ini selalu tengiang-ngiang dalam dirinya.

Kejadian ini akhirnya menjadi momentum baginya untuk membangkitkan "DENDAM POSITIF"



Akhirnya muncul komitmen dalam dirinya.

Remaja miskin itu lalu bekerja keras siang hari dan melanjutkan sekolah malam hari.

Hampir setiap hari ia kurang tidur untuk mengejar ketertinggalannya.

Tidak jarang olok-olok dari teman pun diterimanya.



Buah kerja kerasnya menggapai hasil.

Ia akhirnya bisa lulus SMA.

Kerja kerasnya membuat perusahaan memberi kesempatan padanya untuk mendalami ilmu.

Ia dikirim ke Amerika mengambil kuliah S1 bidang teknik dan master bidang geologi.

Pemuda ini lulus dengan hasil memuaskan.



Selanjutnya ia pulang ke negerinya dan bekerja sebagai insinyur.

Kini ia sudah menaklukkan dendamnya, kembali sebagai insinyur dan bisa minum air yang dulu dilarang baginya.

Apakah sampai di situ saja. Tidak, karirnya melesat terus.

Ia sudah terlatih bekerja keras dan mengejar ketinggalan, dalam pekerjaan pun karirnya menyusul yang lain.

Karirnya melonjak dari kepala bagian, kepala cabang, manajer umum sampai akhirnya ia menjabat sebagai wakil direktur, sebuah jabatan tertinggi yang bisa dicapai oleh orang lokal saat itu.



Ada kejadian menarik ketika ia menjabat wakil direktur.

Insinyur Amerika yang dulu pernah mengusirnya, kini justru jadi bawahannya.

Suatu hari insinyur bule ini datang menghadap karena ingin minta izin libur dan berkata;

"Aku ingin mengajukan izin liburan. Aku berharap Anda tidak mengaitkan kejadian air di masa lalu dengan pekerjaan resmi ini. Aku berharap Anda tidak membalas dendam, atas kekasaran dan keburukan perilakuku di masa lalu"

Apa jawab sang wakil direktur mantan pekerja rendahan ini:

"Aku ingin berterima kasih padamu dari lubuk hatiku paling dalam karena kau melarang aku minum saat itu.

Ya dulu aku benci padamu. Tapi, setelah izin Allah, kamu lah sebab kesuksesanku hingga aku meraih sukses ini."

Kini dendam positif lainnya sudah tertaklukkan.



Lalu apakah ceritanya sampai di sini? Tidak.

Akhirnya mantan pegawai rendahan ini menempati jabatan tertinggi di perusahaan tersebut.

Ia menjadi Presiden Direktur pertama yang berasal dari bangsa Arab.



Tahukan Anda apa perusahaan yang dipimpinnya?

Perusahaan itu adalah Aramco (Arabian American Oil Company) perusahaan minyak terbesar di dunia.

Ditangannya perusahaan ini semakin membesar dan kepemilikan Arab Saudi semakin dominan.

Kini perusahaaan ini menghasilakn 3.4 juta barrels (540,000,000 m3) dan mengendalikan lebih dari 100 ladang migas di Saudi Arabia dengan total cadangan 264 miliar barrels (4.20×1010 m3) minyak dan 253 triliun cadangan gas.



Atas prestasinya Ia ditunjuk Raja Arab Saudi untuk menjabat sebagai Menteri Perminyakan dan Mineral yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap dunia.



Tahukah kisah siap ini?

Ini adalah kisah Ali bin Ibrahim Al-Naimi yang sejak tahun 1995 sampai saat ini (2011) menjabat Menteri Perminyakan dan Mineral Arab Saudi.

Terbayangkah, hanya dengan mengembangkan hinaan menjadi dendam positif, isu air segelas di masa lalu membentuknya menjadi salah seorang penguasa minyak yang paling berpengaruh di seluruh dunia.



Itulah kekuatan "DENDAM POSITIF"

Kita tidak bisa mengatur bagaimana orang lain berperilaku terhadap kita.

Kita tidak pernah tahu bagaimana keadaan akan menimpa kita.

Tapi kita sepenuhnya punya kendali bagaimana menyikapinya.

Apakah ingin hancur karenanya?

Atau bangkit dengan semanagat "Dendam Positif."

Lelaki Peminta Maaf

Sejumlah pelayan sibuk berlalu lalang melayani tamu yang sedang singgah di sebuah restoran. Di salah satu meja terdapat seorang lelaki bersama rekan-rekannya sedang asyik menikmati makanan yang disajikan oleh restoran tersebut. Tak sedikit makanan yang dipesan kala itu, mengingat orang-orang yang hadir adalah para pebisnis handal yang sedang sibuk mengadakan sebuah pertemuan penting.



Menjelang akhir pertemuan, sedikit makanan masih tersisa di piring lelaki itu. Sesaat sebelum dia dan rekan-rekan bisnisnya pergi meninggalkan restoran, disempatkannya ke dapur belakang untuk menemui koki yang telah membuatkan makanan untuk disantapnya tadi bersama rekan-rekannya, suatu hal yang tak lumrah dilakukan oleh banyak orang. Kepada koki tersebut ia hanya berkata,



“Pak maaf, makanan yang Anda buat tadi bukannya tidak enak, tapi saya masih kenyang karena saya sempatkan untuk makan dulu sebelum berangkat ke sini tadi, sehingga makanan yang Anda buat dan dihidangkan untuk saya jadi tidak habis. Sekali lagi, saya mohon maaf Pak. Saya hanya tidak ingin membuat Bapak merasa sakit hati karena makanan yang Anda buat tidak saya habiskan tadi.”



Koki restoran pembuat makanan tersenyum mendengar apa yang disampaikan oleh lelaki itu, sambil berdecak kagum ternyata masih ada lelaki rendah hati yang menemuinya walau sekedar untuk meminta maaf. Bagi koki tersebut, adalah hal biasa melihat makanan yang dibuatnya tidak dihabiskan oleh pengunjung restoran karena berbagai alasan, tapi tak pernah ada yang menemui dirinya walau sekedar untuk meminta maaf seperti halnya yang dilakukan lelaki tadi.



Sungguh santun lelaki peminta maaf tersebut, di tengah kesibukannya dalam mengurus bisnis, dia sempatkan untuk menemui sang koki yang tak lebih hanya pembuat makanan sebuah restoran, sekedar untuk meminta maaf. Sebuah hal remeh yang hampir tidak pernah diperhatikan dan dilakukan oleh para pebisnis besar lainnya, bahkan oleh kita sekalipun.



Tapi siapa sangka, justru karena kesantunan dan kerendahan hatinya dalam menghargai orang lain, membuat bisnis yang dijalankannya tumbuh dan berkembang pesat hingga sekarang. Dialah pendiri National atau yang saat ini lebih dikenal dengan nama Panasonic, sang pengusaha besar kelas dunia asal Jepang yang menjadi teladan bagi banyak orang. Konosuke Matsushita, sang lelaki peminta maaf tersebut.

Wanita di Balik Temaram Lampu Musholla

Profesinya hanya sebagai pembantu umum di sebuah sekolah menengah swasta di Surabaya barat dengan gaji bulanan yang tak seberapa. Menyapu dan mengepel lantai sekolah, membuatkan makanan dan minuman untuk para guru, adalah beberapa contoh kecil pekerjaannya. Usianya pun tak muda lagi, tapi semangatnya mengalahkan usianya yang tak muda itu.



Bu Yah, panggil saja begitu. Penampilannya yang sederhana, dibalut senyum khas yang merona dari balik wajah tuanya, membuatnya disukai oleh banyak orang. Sekilas, tak ada yang istimewa dari dirinya, hanya seonggok sepeda tua yang selalu setia menemaninya kemanapun ia pergi.



Di sela-sela waktu kerjanya ia pun coba mengadu nasib di bidang yang lain, berdagang.



“Nggak coba telur asinnya Bu, bisa untuk makan satu keluarga loh”, ujarnya menawarkan dagangan kecilnya dengan dialek khas Suroboyo kepada beberapa guru sekolah tempatnya bekerja pada suatu kesempatan. Atau di kesempatan yang lain, “Pisangnya matang Bu, mau coba nggak? Murah kok bu,” ungkapnya lagi menawarkan sedikit barang yang ia bawa.



Ya, itulah bu Yah, dengan sedikit kerja kerasnya, setiap hari selalu saja ada barang yang dibawanya untuk ditawarkan kepada para guru dan staf di sekolah tersebut. Keuntungan yang diambilnya pun tak banyak, sebatas seribu atau dua ribu perak, bergantung jumlah barang yang laku dijualnya.



Semua masih terlihat biasa saja sebagaimana orang lain yang ingin mencari penghasilan tambahan dibalik pekerjaan utamanya. Tapi ia bukanlah orang biasa sebagaimana orang lain kebanyakan, ada satu keistimewaan yang membuatnya luar biasa dan menjadikannya berbeda, bukan sekedar berbeda di mata manusia, tapi juga berbeda di mata Allah, Tuhannya.



Keuntungan yang ia dapatkan dari hasil dagangan kecilnya, walau tak besar, dikumpulkannya untuk membayar iuran listrik bulanan musholla dekat rumahnya. Namun bila dagangannya tak laku, tak jarang semburat kesedihan terbias dari balik senyum dukanya sembari mencoba berharap bahwa Allah akan memberinya rezeki untuknya dari jalan yang tak pernah ia duga-duga.



Ya itulah tekadnya, dengan kesederhanaan yang ia miliki dan dengan keterbatasan yang ia punyai, besar harapannya untuk bisa membuat listrik musholla dekat rumahnya tersebut tetap menyala. Ia bertekad agar uang listrik menjadi amanah dan tanggung jawabnya, walaupun sebenarnya infaq yang masuk di kas musholla sanggup untuk membayar iuran listrik bulanan tersebut.



Sejuk telinganya saat sayu suara ‘adzan dikumandangkan dari balik pengeras suara musholla, teduh tatapannya saat berpasang-pasang mata sibuk menyimak ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan di bawah temaram lampu musholla pada malam hari, dan damai hatinya saat ilmu-ilmu ditebarkan melalui berbagai kajian yang diselenggarakan di situ. Ya segenap rasa sejuk, teduh dan damai yang tak sanggup digantikan oleh apapun dalam hidupnya.



Sejatinya dialah bintang gemintang nan elok di malam hari yang mampu menyejukkan jiwa-jiwa yang kerontang dihempas fana dunia. Dialah taburan warna-warna pelangi nan indah yang meneduhkan hati-hati yang buta karena terbuai nafsu angkara. Dan dia pulalah mutiara jingga yang terpendam di dasar lautan yang mampu menghias batin-batin yang terluka dalam getirnya nadi kehidupan.



Ya, dialah Bu Yah, wanita tua dibalik temaram lampu musholla yang menerangi malam, yang hanya memiliki satu asa dalam hidupnya, bahwa Allah dengan rahmatNya akan menerangi akhir tempatnya berpijak kelak, alam kubur.